RSS
 

Posts Tagged ‘Politik’

JOKOWI, DARI KURSI DKI-1 MENUJU RI-1 : Sudah Tepatkah?

18 Mar

Teka-teki itu akhirnya terjawab sudah. Tepat pada tanggal 14 Maret 2014 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menetapkan Gubernur DKI Jakarta tersebut menjadi calon presiden untuk periode 2014-2019. Fenomena tersebut sebenarnya sudah banyak diprediksi oleh beberapa kalangan. Bahkan jauh sebelumnya, ketika Jokowi memenangkan pemilihan gubernur DKI Jakarta dengan suara yang cukup jauh dari pesaingnya waktu itu, Fauzi Bowo, sudah mulai bermunculan suara-suara untuk mengusung Jokowi  maju sebagai calon presiden.

Harapan mulai disematkan, rasa optimisme akan perubahan mulai bermunculan. Namun perlu diperhatikan lagi, Jokowi belum genap 2 tahun memimpin Jakarta sebagai gubernur. Masih banyak pekerjaan yang belum terselesaikan. Warga Jakarta masih banyak yang belum tersentuh program yang dibentuk oleh pasangan Jokowi-Basuki ini. Sehingga pertanyaan pun muncul “Sudah tepatkah pencapresan Jokowi pada Pemilu 2014 ini?”. Pandangan positif memang bermunculan, namun pandangan negatif juga tidak bisa dipandang remeh. Sentimen negatif terhadap pencapresan ini bisa dianggap sebagai hal yang  wajar mengingat status Jokowi sebagai gubernur DKI yang masih memiliki ‘pekerjaan rumah’ banyak yang belum terselesaikan, sudah dihadapkan kepada permasalahan negara yang jauh lebih kompleks tentunya.

Terlepas dari keraguan yang muncul di masyarakat, tidak bisa dilupakan juga bahwa media massa juga memiliki peran yang tidak kalah penting. Sejak Jokowi muncul ke ranah politik dan keberhasilannya merebut kursi DKI-1, pencitraan yang dilakukan oleh media massa begitu gencar. Program pemerintahan yang disusun oleh Jokowi dan Ahok dikemas oleh media massa sedemikian rupa, sehingga terbentuk sebuah citra di masyarakat. Memang apa yang dilakukan oleh Jokowi selama memerintah Jakarta tidak bisa dikatakan buruk. Beberapa program seperti relokasi pasar Tanah Abang sebagai antisipasi kemacetan, kemudian pengerukan waduk Ria-Rio sebagai antisipasi banjir (walaupun dalam kenyataannya banjir masih melanda ibukota), dan beberapa program kemasyarakatan lain, seolah telah membuka harapan baru bagi warga ibukota. Semua program tersebut berpotensi positif untuk mengubah wajah Jakarta, dan bisa dikatakan sebagai program yang cukup bagus untuk bisa diimplementasikan di masyarakat.

Beberapa pemberitaan program pemerintahan Jokowi tersebut masih ditambah dengan sifat Jokowi yang dikenal dekat dengan masyarakat karena memang Jokowi suka blusukan untuk bisa melihat lebih dekat dengan masyarakat. Pencitraan yang dilakukan oleh media massa ini secara tidak langsung telah meningkatkan citra seorang Joko Widodo sebagai gubernur DKI. Peran media massa inilah yang dianggap sebagai salah satu keberhasilan Jokowi memperoleh citra dan reputasi positif di masyarakat, sehingga beberapa lembaga survey dan media massa menempatkan Jokowi diurutan teratas untuk bisa meraih kursi RI-1. Asumsi yang bermunculan pun tidak bisa disalahkan bahwa ada sebuah kampanye yang sengaja dirancang untuk mengusung Jokowi dan tentunya tidak bisa dilepaskan dari peran partai politik yang mengusungnya. Menurut Dennis McQuail, suatu kampanye kemungkinan berhasil jika ada kondisi tertentu yang mendukung pada situasi audience, pesan (message) dan sumber (source). (Subiakto, 2012 : 101). Menilik dari pandangan McQuail tersebut, bisa kita lihat adanya keterkaitan antara pencitraan Jokowi di masyarakat dengan kemunculan nama Jokowi dalam bursa calon presiden 2014.

Kondisi masyarakat saat ini yang membutuhkan sosok pemimpin yang dekat dan humanis menjadi sebuah kesempatan untuk mendapatkan peluang di bidang politik. Dengan gaya bicara yang apa adanya, suka blusukan dan tidak terlalu suka beretorika, membuat Jokowi seolah mendapat tempat tersendiri di masyarakat. Namun, apakah anggapan tersebut benar? Bagaimana dengan anggapan dari masyarakat Jakarta sendiri yang ‘bersentuhan’ langsung dengan “sepak terjang” sang gubernur?

Wacana tersebut berpotensi memunculkan beberapa pertanyaan baru lagi. Apakah pencapresan Jokowi ini sudah tepat? Bukankah masih terlalu prematur untuk bisa bertarung di level tertinggi percaturan politik, yaitu kursi kepresidenan? Pada pembahasan sebelumnya saya sempat menyinggung mengenai partai pengusung Jokowi yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Sebagai salah satu prtai besar di Indonesia tentunya perhitungan yang dilakukan untuk mengusung Jokowi sudah matang. Namun, pemberitaan media massa akhir-akhir ini, mengenai statement Prabowo Subianto mengenai pelanggaran Perjanjian Batutulis antara dirinya dengan Megawati Sukarnoputri, semakin memanaskan “arena” politik ini. Prabowo menganggap, dengan pencalonan Jokowi sebagai capres dari PDI-P, maka telah terjadi pelanggaran dalam perjanjian tersebut, dimana dalam salah satu poin disebutkan bahwa Megawati dan PDI-P akan mendukung Prabowo sebagai calon presiden pada pemilu 2014.

Konflik antara Prabowo dengan Megawati ini menjadi semacam indikasi kuat bahwa munculnya nama Jokowi sebagai calon presiden dari PDI-P sudah disiapkan sejak lama. Media massa pun seolah mendapat “santapan” segar dengan adanya fenomena konflik ini. Prabowo yang merasa “dikhianati” tentunya merasa kecewa dengan pencalonan Jokowi. Perjanjian Batu Tulis yang ditandatangani pada tahun 2009 pun akhirnya hanya sebatas tulisan dan wacana saja tanpa ada implementasi lebih lanjut. Kubu PDI-P pun menyanggah telah melanggar perjanjian tersebut, melalui sekretaris jenderal PDI-P, Tjahjo Kumolo, mengatakan bahwa perjanjian tersebut otomatis gugur dengan sendirinya karena pasangan Megawati-Prabowo gagal menjadi presiden dan wakil presiden pada pemilu 2014 lalu, walaupun terdapat statement yang menyatakan Megawati mendukung Prabowo menjadi calon presiden pada tahun 2014.

Menanggapi fenomena semacam ini maka kita perlu melihat dengan bijaksana bagaimana kira-kira kiprah Jokowi selanjutnya sebagai calon presiden 2014. Sudah tepatkah pencalonan ini?

 

 
Comments Off on JOKOWI, DARI KURSI DKI-1 MENUJU RI-1 : Sudah Tepatkah?

Posted in Uncategorized

 

KEPEMILIKAN MEDIA MASSA SEBAGAI KENDARAAN POLITIK MENUJU PEMILU 2014

14 Mar

Media massa sebagai salah satu bagian yang tidak terpisahkan di masyarakat telah memberikan pengaruh yang begitu signifikan di masyarakat. Berbagai bentuk tayangan di media massa mampu menampilkan realita sosial di masyarakat. Masyarakat begitu mudah percaya dengan apa yang ditampilkan di media massa. Media massa yang telah mengalami perkembangan begitu pesat juga mampu membentuk opini public melalui tayangan yang disajikannya, seperti berita misalnya. Televisi sebagai salah satu media massa yang paling besar memberikan pengaruh merupakan media yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat.

Televisi di era reformasi saat ini tidak hanya berfungsi sebagai media penyampai pesan saja, tetapi juga berfungsi sebagai penarik minat massa untuk meraup dukungan dalam segala hal. Sebagai media komunikasi massa yang penuh dengan tayangan-tayangan audio visual, bukan tidak mungkin televise menjadi pusat perhatian. Mengapa orang memperhatikan media massa? Satu kemungkinan jawabannya ialah karena mereka berusaha menambah khazanah pengetahuan (informasi) dan atau memperoleh bimbingan (opini). (Nimmo, 2000 : 172).

 

Letak kekuatan media massa, televisi khususnya, yaitu memiliki konsep audio visual yang mampu menampilkan realita sosial di masyarakat. Kedekatan fenomena yang ditampilkan oleh masyarakat inilah yang menjadikan televisi sebagai penyebar informasi dengan fungsi persuasi yang paling besar. Beberapa kalangan yang memiliki kekuasaan akan menjadikan media massa sebagai alat untuk mendapatkan dukungan di ranah perpolitikan. Sebagaimana telah diketahui bahwa di era reformasi saat ini, kepemilikan media merupakan salah satu cara untuk mendapatkan kekuasaan, karena media massa merupakan alat yang utama dalam membentuk opini public.

Kekuatan Hegemoni Media : Cara Baru mendapatkan Dukungan Massa

Pemilik media massa sebenarnya memiliki kemampuan untuk bisa bersaing di kancah perpolitikan di Indonesia. Kita tahu bahwa di Indonesia ada beberapa stasiun televisi yang pemiliknya berkecimpung di dunia politik. Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh, di mana Surya Paloh saat ini berposisi sebagai ketua umum Partai Nasional Demokrat (NasDem), dan TVOne yang dimiliki oleh keluarga Bakrie, di mana Aburizal Bakrie juga sebagai ketua umum Partai Golongan Karya, merupakan dua stasiun televise berita terbesar di Indonesia. Tayangan berita yang disajikan oleh dua stasiun televise tersebut mampu mempengaruhi pola pikir masyarakat.

Kebutuhan masyarakat akan informasi yang begitu besar membuat media massa dengan leluasa menyampaikan informasi. Ironisnya, berita yang ditayangkan oleh media massa seringkali diragukan keabsahannya, dan masyarakat menerima begitu saja apa yang disampaikan oleh media massa tanpa adanya filter terlebih  dahulu. Peluang inilah yang kemudian dijadikan sarana oleh pemiliki media yang berkecimpung di ranah politik untuk melakukan kampanye terselubung. Masih ingat di benak kita ketika Pemilu tahun 2004, media massa begitu gencar memberitakan siapa saja yang jadi calon Presiden dan Wakil Presiden, serta apa saja yang menjadi visi dan misi mereka.

Politik pencitraan yang dilakukan oleh beberapa calon Presiden dan Wakil Presiden melalui media massa ternyata begitu efektif untuk mendapatkan dukungan suara dari rakyat. Terbukti dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2004-2009. Pada pemilu 2009 pun politik pencitraan terbukti efektif untuk dilakukan lagi, dan SBY terpilih untuk periode kedua yaitu 2009-2014. Ringkasnya, televisi tetap digunakan secara luas sebagai saluran komunikasi kampanye. (Nimmo, 2000 : 199).

Fenomena tersebut tidak terlepas dari hegemoni yang dilakukan oleh media massa. Tayangan media yang disajikan secara terus menerus telah mampu mengkonstruksi pola pikir masyarakat terhadap setiap fenomena yang terjadi. Stigma yang terbentuk di masyarakat terhadap pemberitaan yang dilakukan oleh media massa adalah stigma positif. Sehingga, masyarakat percaya begitu saja apa yang dikatakan oleh media massa. Walaupun saat ini masyarakat sudah mulai memiliki pemikiran yang cerdas dan pengaruh yang diberikan oleh media mulai menurun, tetapi hegemoni tersebut tidak serta merta hilang begitu saja. Aspek inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan bagi pemilik media untuk melakukan kampanye menuju Pemilu 2014. Kita bisa mengetahui bagaimana saat ini Partai Nasional Demokrat sedang gencar membangun citra melalui tayangan iklan di televisi. Trans Corp. yang dipimpin oleh Chaerul Tanjung dan MNCTV Group (RCTI, Global TV, dan MNCTV) yang dimiliki oleh Hari Tanoesudibyo, sudah ikut pula bergabung dengan partai NasDem.

Media massa memang memiliki kekuatan untuk membentuk opini public. Teori Agenda Setting merupakan sebuah teori yang masuk kategori Applied Theory, sehingga bisa kita lihat dari apa yang terjadi di media massa saat ini. Kekuasaan media dalam menentukan agenda masyarakat bergantung pada hubungan mereka dengan pusat kekuasaan. (Littlejohn, 2009 : 418). Kekuasaan inilah yang menjadi tujuan dari para pemilik media. Televisi seperti TVOne misalnya, begitu sering menyajikan berita-berita yang notebene lebih menunjukkan citra sang pemilik.

Aburizal Bakrie yang tengah bersiap maju untuk RI-1 membangun citranya melalui tayangan-tayangan berita di TVOne dan ANTV (dua-duanya milik keluarga Bakrie). Masyarakat sebagai target menjadi tujuan utama dari pembangunan citra tersebut dengan harapan akan memilih Bakrie pada pemilu 2014 nanti. Media dengan semua sumber daya dan kekuatan yang ada, tidak terkecuali, lebih sering mengukuhkan atau membuat kepercayaan, sikap, nilai dan opini khalayak menjadi kuat. (Ardiyanto, 2007 : 20). Dengan adanya hegemoni dari media, pengukuhan terhadap seorang individu yang berimplikasi pada opini khalayak, maka media massa mampu merubah pola pikir seseorang terhadap seorang individu.

Politik Pencitraan melalui Media Massa

Berkaca dari keberhasilan Presiden SBY membangun citranya melalui media massa, beberapa tokoh yang akan maju dalam pemilu 2014 sebagai calon presiden mulai mempersiapkan strategi jitu untuk menarik simpati masyarakat. Tidak hanya dengan menjabarkan program-program dan visi misi mereka, berbagai kegiatan yang ‘digambarkan’ dekat dengan rakyat pun menjadi tayangan utama di media massa milik mereka. Ungkapan “Pemilik Media adalah Penguasa Dunia” memang benar adanya. Sebab, media massa mampu membentuk opini public, media massa merupakan sumber informasi di dunia, sehingga tidak sulit bagi para pemilik media untuk meraup suara yang signifikan pada pemilu nanti.

Politik pencitraan menjadi sebuah konsep yang unik di mana sebenarnya pencitraan telah lama digunakan dalam setiap kampanye. Tetapi, kalimat politik pencitraan baru menjadi sebuah trend ketika Presiden SBY sukses menjadi presiden Indonesia dua periode berturut-turut. Lawan politik SBY mulai mempelajari bagaimana cara untuk menarik simpati rakyat melalui media massa. Hal inilah yang kemudian menjadi ‘formula’ yang digunakan untuk mengalahkan kesuksesan Partai Demokrat (partai yang dipimpin oleh SBY) di pemilu 2014 nanti. Partai Demokrat yang tidak memiliki link dengan media massa menjadi sasaran ‘empuk’ ketika mengalami kasus korupsi wisma atlet yang melibatkan ketua umum mereka yaitu Anas Urbaningrum. Sebagaimana telah diketahui bahwa beberapa pemilik media massa terbesar di Indonesia merupakan lawan politik SBY sekaligus Demokrat.

Ketika kasus tersebut mencuat, media massa berlomba-lomba untuk memberitakannya dengan gencar. Tentunya, dibalik pemberitaan itu ada maksud tersembunyi yaitu selain ‘menggembosi’ kekuatan Demokrat, mereka juga menggunakannya untuk menarik simpati rakyat dengan memunculkan sebuah opini public yaitu partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu 2009 adalah sarang koruptor. Begitu kuatnya pengaruh yang diberikan oleh media massa telah membuat masyarakat terhegemoni dengan pemberitaan-pemberitaan yang ditayangkannya. Berangkat dari terbentuknya opini public mengenai pemberitaan kasus tersebut, lawan politik Demokrat mulai bermunculan di media. Propaganda melalui media dengan mensosialisasikan bentuk-bentuk solusi terhadap permasalahan yang melanda negara Indonesia mulai dilakukan oleh partai-partai pemilik media. Hal tersebut sekaligus juga sebagai kampanye terselubung bagi mereka.

Pembentukan citra inilah yang menjadi tujuan utama menuju 2014. Dengan citra yang sudah terbentuk sedemikian rupa, maka bukan hal yang mustahil seorang pemilik media bisa sukses di ranah politik, dibandingkan dengan politikus murni yang sudah lama berkecimpung di dunia politik. Konsep pemahaman masyarakat terhadap pemberitaan media yang ‘naif’ merupakan peluang besar untuk melakukan orasi dan pembentukan citra terhadap publik. Korelasi antara media massa dengan dunia politik sebenarnya telah berlangsung lama, dan tidak hanya di Indonesia. Amerika Serikat pernah mengalami hal yang serupa di mana tokoh-tokoh politik pernah menggunakan media massa untuk mendapatkan kursi kekuasaan, di mana pelopornya adalah John F. Kennedy. John F. Kennedy menjadi presiden televisi pertama di Amerika. Kemunculan Kennedy di televisi memang untuk pertama kali, tetapi ia telah mengetahui bagaimana menggunakan televisi. (Biagi, 2010 : 215).

Orator-Orator Ulung di Era Media Massa Modern : Media Massa sebagai ‘Kendaraan’ Politik

Orator merupakan seseorang yang melakukan kegiatan orasi dalam rangka mendapatkan dukungan masyarakat. Konsep mengenai orasi dan kemampuan melakukan retorika telah ada sejak zaman Yunani kuno dan telah menjadi semacam ‘keharusan’ ketika berada dalam ranah politik. Aristoteles yang terkenal dengan teori retorika telah memberikan semacam kajian yang menarik mengenai konsep retorika. Awal kemunculan pemikiran mengenai retorika sebenarnya merupakan bentuk pemahaman mengenai seni dalam mengolah kata-kata. Asal retorika di zaman klasik, dari abad ke-5 sampai abad ke-1 sebelum masehi, didominasi oleh usaha-usaha untuk mendefinisikan dan menyusun peraturan dari seni retorika. (Littlejohn, 2009 : 74).

Menurut Aristoteles, konsep retorika merupakan konsep yang harus dipahami oleh sang orator. Konsep ini meliputi ethos, pathos dan logos di mana ethos merujuk pada karakter, intelegensi, yang dipersepsikan dari pembicara. Pathos merujuk pada pendengar atau khalayak yang mendengar orasi tersebut dan logos adalah isi dari apa yang dibicarakan oleh orator tersebut. Jadi, seorang orator harus memiliki kecerdasan dalam mengolah kata-kata dan paham betul tipe khalayak yang dijadikan sasaran dari apa yang dikatakannya tersebut.

Banyak kalangan yang menggunakan konsep tersebut ketika tampil di layar kaca. Orator ulung mulai bermunculan untuk membentuk citra yang mampu membius masyarakat. Tayangan yang paling banyak menyajikan bentuk-bentuk retorika adalah debat calon presiden. Para pengamat menyatakan kemenangan presiden Kennedy pada tahun 1960 sebagian dikarenakan keberhasilannya dalam debat presiden di televisi dengan Richard Nixon. (Biagi, 2010 : 215). Dari peristiwa di Amerika tersebut kita bisa melihat bagaimana kemudian cara tersebut diadaptasi di Indonesia. Orator-orator ulung mulai ‘bekerja’ merangkai kalimat-kalimat yang begitu persuasive, menyajikan visi dan misi, menyatakan sebuah solusi dan membentuk citra di hadapan public.

Dengan memandang fenomena seperti itu, tidak salah apabila kemudian kita bisa membuat sebuah pandangan bahwa pemilik media merupakan pihak yang memiliki peluang paling besar untuk meraup keuntungan di dunia politik. Kemunculan Partai Nasional Demokrat yang dipimpin oleh Surya Paloh merupakan sebuah ‘ancaman’ tersendiri bagi Partai Demokrat yang notabene tidak memiliki media massa. Sebagaimana diketahui saat ini Surya Paloh, sang pemilik MetroTV telah merangkul pemilik media massa lain seperti Trans Corp (dipimpin Chaerul Tanjung) serta MNCTV Group (dipimpin oleh Hari Tanoesudibjo). Belum lagi Aburizal Bakrie yang akan maju dalam Pilpres pada 2014 mendatang dengan Partai Golongan Karya. Bakrie memiliki TVOne dan ANTV. Jadi, bukan perkara sulit bagi mereka untuk membentuk citra di hadapan publik. Pembentukan opini public melalui orasi-orasi yang dilancarkan oleh mereka menjadi semacam teknik jitu dalam mempersiapkan diri untuk bertarung di 2014.

Melalui berita yang ditayangkan di televisi inilah, pemilik media menyajikan sebuah realitas mengenai kondisi negara yang kacau, bencana dan berbagai permasalahan lainnya yang ‘digambarkan’ tidak bisa diatasi oleh ‘partai pemerintah.’. Berita bukan merupakan ‘jendela dunia’ yang tanpa perantara, melainkan suatu representasi hasil seleksi dan konstruksian yang membentuk ‘realitas’. (Barker, 2008 : 276). Pendapat Chris Barker di atas bisa kita anggap sebagai sebuah konstruksi realitas sosial yang kemudian dipolitisasi oleh media massa partai tertentu. Televisi adalah sebuah media yang setiap menitnya menyajikan berbagai fenomena di hadapan manusia, baik fenomena itu berbentuk kenyataan, informative, maupun kebohongan massal, masyarakat tetap mengkonsumsi televisi untuk mendapatkan informasi. Televisi terkadang ‘menjauhkan’ manusia dalam interaksinya sebagai makhluk sosial. Di saat manusia tak mampu lagi bersahabat dengan masyarakatnya, televisi justru mampu menjadi medium yang paling tepat untuk membentuk opini dan membangkitkan sentiment masyarakat. (Bungin, 2008 : 61).

Sebagai media pembentuk opini yang paling besar, televisi sebenarnya selalu menghadirkan bentuk-bentuk konstruksi realitas yang terkadang jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Hal ini tidak jarang digunakan oleh kalangan-kalangan tertentu untuk kepentingan politis. Konstruksi realitas kadang mampu menghadirkan dunia kesadaran jauh sebelum manusia memahamai eksistensi materi dari apa yang disadari itu sendiri. (Bungin, 2008 : 69). Berangkat dari pemahaman tersebut, maka media massa berusaha untuk melakukan penggambaran-penggambaran yang membentuk sebuah pandangan manusia terhadap dunianya. Pada era reformasi ini, ketika seseorang mampu membentuk partai politik sendiri, dan memiliki media massa sebagai ‘corong’ untuk melakukan propaganda, maka bukanlah sebuah hal yang aneh ketika sebentuk kekuasaan itu menjadi tujuan akhir dari apa yang direncanakan selama ini.

 

Media Massa dan Agenda Setting : Strategi Mumpuni dalam Meraup Suara dan Dukungan Rakyat

Pembentukan opini public di masyarakat yang dilakukan oleh media merupakan salah satu efek yang ditimbulkan ketika media massa melakukan sebuah pemberitaan dan konstruksi sosial. Dalam ranah ilmu komunikasi, teori Agenda Setting merupakan teori yang khusus mengkaji bagaimana media massa membentuk opini public dari pemberitaan yang dilakukannya. Melalui opini public yang sudah terbentuk itulah beberapa pihak yang memiliki kepentingan politik menggunakannya untuk mendapat dukungan, dengan tujuan meraup suara sebanyak-banyaknya di pemilu 2014 nanti.

 

Konsep ‘tebar pesona’ melalui media massa seperti televisi saat ini menjadi sebuah konsep alternative yang cukup jitu untuk meraup suara. Strategi ini juga merupakan kelanjutan dari strategi pembentukan opini public yang dilakukan oleh media massa. McComb dan Shaw, peneliti yang mengkaji mengenai teori Agenda Setting yang dicetuskan oleh Walter Lippman, menganggap bahwa pada dasarnya masyarakat bukanlah ‘mesin otomatis’ yang menunggu di program oleh media massa. Masyarakat memiliki kemampuan untuk memilih tayangan mana yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dalam ranah politik, ketika seorang kandidat mulai melakukan kampanye melalui media massa, masyarakat tidak serta merta terpengaruh kemudia memberika suara kepadanya.

Pemikiran McComb dan Shaw inilah yang kemudian menghasilkan sebuah teori baru yaitu Uses and Gratification, di mana sebenarnya masyarakat memiliki kekuasaan terhadap media untuk memenuhi kebutuhan informasinya, dan media memiliki ‘kewajiban’ untuk memenuhinya. Terlepas dari dua teori di atas, kondisi masyarakat Indonesia yang masih memiliki ketergantungan begitu besar kepada media menyebabkan masyarakat Indonesia begitu mudah terpengaruh oleh politik media tersebut.

Kemampuan media massa dalam membentuk opini publik inilah yang menjadikan masyarakat seolah mudah terpengaruh. Menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi beberapa pihak yang berkepentingan ketika media massa mampu menghadirkan ‘pencerahan’ di tengah-tengah masyarakat. Orator ulung, solusi terhadap permasalahan yang ada di tengah masyarakat, dan berbagai janji-janji mulai ‘dipersembahkan’ ke rakyat, melalui media massa tentunya. Semua itu dilakukan untuk membentuk citra dan tujuan akhirnya adalah masyarakat mendukungnya untuk menjadi presiden, dan partainya menjadi pemenang di Pemilu 2014 nanti.

Media massa di era reformasi saat ini sudah dapat dikatakan mulai kehilangan tingkat obyektifitasnya. Apalagi ketika media massa sudah mulai menyentuh ranah politik (dalam artian pemilik media tersebut sudah mulai berkecimpung di ranah politik), maka tidak menutup kemungkinan tayangan-tayangan yang disajikannya bertujuan untuk menggiring opini masyarakat ke arah pembentukan citra, dengan tujuan akhirnya adalah mendukung di Pemilu 2014 nanti. Pemilik media yang mulai tampil di layar kaca, melakukan personal branding dan lain sebagainya, pada dasarnya merupakan sebuah strategi politik untuk kemenangan di Pemilihan Umum 2014 nanti.

Ketika media massa dijadikan kendaraan politik maka masyarakat yang akan berada pada pihak subordinat. Masyarakat akan ‘dipaksa’ menyaksikan tayangan-tayangan yang berisikan kampanye terselubung, baik dalam bentuk berita maupun tayangan iklan-iklan yang membentuk citra dari pemiliki media tersebut. Konstruksi media massa seperti ini telah membuat banyak kalangan masyarakat merasa jenuh dengan hal-hal yang berbau politik. Alasannya sudah bisa ditebak, banyak sekali janji-janji yang tidak pernah terpenuhi ketika mereka masih kampanye. Sebagai sebuah media yang mampu membentuk opini public dan mengkonstruksi realita sosial, televise merupakan media massa yang memiliki pengaruh yang massif di masyarakat, sehingga sangat tepat untuk digunakan sebagai kendaraan politik untuk kampanye melalui siaran-siarannya. Konsep acara yang ditayangkan, apabila ditinjau dengan teori Agenda Setting, bisa diketahui bagaimana opini public akan terbentuk di masyarakat.

Dengan adanya fenomena semacam ini, maka media massa cenderung mengalami perubahan fungsi. Tidak hanya sebagai penyampai informasi pada masyarakat, melainkan berfungsi pula sebagai media untuk meraup keuntungan berupa kekuasaan di masyarakat. Maka saran yang bisa penulis sampaikan adalah masyarakat harus memiliki kemampuan berupa kecerdasan dalam mengkonsumsi media agar terhindar dari bentuk-bentuk konstruksi sosial media massa berupa kampanye terselubung. Tujuannya agar masyarakat memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan ketika pemilu nanti di tahun 2014.

 

REFERENSI

Ardiyanto, Elvinaro. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.

————————–. 2010. Metodologi Penelitian untuk Public Relations Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung. Simbiosa Rekatama Media

Barker, Chris. 2008. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Kreasi Wacana. Yogyakarta.

Biagi. Shirley. 2010. Media/ Impact. Pengantar Media Massa. Penerjemah : Muhammad Irfan. Jakarta. Salemba Humanika.

Burhan Bungin. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Kencana. Jakarta.

Danial, Akhmad. 2009. Iklan Politik TV Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru. Yogyakarta : LKiS

Nimmo, Dan.2000. Komunikasi Politik. Jakarta. Rosda.

 
Comments Off on KEPEMILIKAN MEDIA MASSA SEBAGAI KENDARAAN POLITIK MENUJU PEMILU 2014

Posted in Uncategorized

 

Kiprah New Media dalam Percaturan Politik di Indonesia

13 Mar

Media massa sebagai salah satu bagian yang tidak terpisahkan di masyarakat telah memberikan pengaruh yang begitu signifikan di masyarakat. Berbagai bentuk tayangan di media massa mampu menampilkan realita sosial di masyarakat. Media massa yang telah mengalami perkembangan begitu pesat juga mampu membentuk opini public melalui tayangan yang disajikannya, seperti berita misalnya. Televisi sebagai salah satu media massa yang paling besar memberikan pengaruh merupakan media yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat berupa kasus-kasus pelanggaran hukum, banyak disebabakan oleh tayangan dari televisi. Kasus tewasnya seorang anak kecil setelah menirukan gerakan-gerakan dalam tayangan Smackdown misalnya, menjadi sebuah bukti bagaimana pengaruh yang ditimbulkan oleh televisi sangat kuat di masyarakat

Letak kekuatan media massa, televisi khususnya, yaitu memiliki konsep audio visual yang mampu menampilkan realita sosial di masyarakat. Kedekatan fenomena yang ditampilkan oleh masyarakat inilah yang menjadikan televisi sebagai penyebar informasi dengan fungsi persuasi yang paling besar. Beberapa kalangan yang memiliki kekuasaan akan menjadikan media massa sebagai alat untuk mendapatkan dukungan di ranah perpolitikan. Sebagaimana telah diketahui bahwa di era reformasi saat ini, kepemilikan media merupakan salah satu cara untuk mendapatkan kekuasaan, karena media massa merupakan alat yang utama dalam membentuk opini public.

Pemilik media massa sebenarnya memiliki kemampuan untuk bisa bersaing di kancah perpolitikan di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa di Indonesia ada beberapa stasiun televisi yang pemiliknya berkecimpung di dunia politik. Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh, di mana Surya Paloh saat ini berposisi sebagai ketua umum Partai Nasional Demokrat (NasDem), dan TVOne yang dimiliki oleh keluarga Bakrie, di mana Aburizal Bakrie juga sebagai ketua umum Partai Golongan Karya, merupakan dua stasiun televise berita terbesar di Indonesia. Tayangan berita yang disajikan oleh dua stasiun televise tersebut mampu mempengaruhi pola pikir masyarakat.

Fenomena tersebut tidak terlepas dari hegemoni yang dilakukan oleh media massa. Tayangan media yang disajikan secara terus menerus berpotensi mengkonstruksi pola pikir masyarakat terhadap setiap fenomena yang terjadi. Stigma yang terbentuk di masyarakat terhadap pemberitaan yang dilakukan oleh media massa adalah stigma positif. Sehingga, masyarakat percaya begitu saja apa yang dikatakan oleh media massa. Walaupun saat ini masyarakat sudah mulai memiliki pemikiran yang cerdas dan pengaruh yang diberikan oleh media mulai menurun, tetapi hegemoni tersebut tidak serta merta hilang begitu saja. Aspek inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan bagi pemilik media untuk melakukan kampanye menuju Pemilu 2014. Kita bisa mengetahui bagaimana saat ini Partai Nasional Demokrat sedang gencar membangun citra melalui tayangan iklan di televisi.  MNCTV Group (RCTI, Global TV, dan MNCTV) yang dimiliki oleh Hari Tanoesudibyo, sudah ikut pula bergabung dengan partai NasDem.

Media massa memang memiliki kekuatan untuk membentuk opini public. Teori Agenda Setting merupakan sebuah teori yang masuk kategori Applied Theory, sehingga bisa kita lihat dari apa yang terjadi di media massa saat ini. Kekuasaan media dalam menentukan agenda masyarakat bergantung pada hubungan mereka dengan pusat kekuasaan. (Littlejohn, 2009 : 418). Kekuasaan inilah yang menjadi tujuan dari para pemilik media. Televisi seperti TVOne misalnya, begitu sering menyajikan berita-berita yang notebene lebih menunjukkan citra sang pemilik. Aburizal Bakrie yang tengah bersiap maju untuk RI-1 membangun citranya melalui tayangan-tayangan berita di TVOne dan ANTV (dua-duanya milik keluarga Bakrie). Masyarakat sebagai target menjadi tujuan utama dari pembangunan citra tersebut dengan harapan akan memilih Bakrie pada pemilu 2014 nanti. Media dengan semua sumber daya dan kekuatan yang ada, tidak terkecuali, lebih sering mengukuhkan atau membuat kepercayaan, sikap, nilai dan opini khalayak menjadi kuat. (Ardiyanto, 2007 : 20). Dengan adanya hegemoni dari media, pengukuhan terhadap seorang individu yang berimplikasi pada opini khalayak, maka media massa mampu merubah pola pikir seseorang terhadap seorang individu.

Pembentukan citra inilah yang menjadi tujuan utama menuju 2014. Dengan citra yang sudah terbentuk sedemikian rupa, maka bukan hal yang mustahil seorang pemilik media bisa sukses di ranah politik, dibandingkan dengan politikus murni yang sudah lama berkecimpung di dunia politik. Konsep pemahaman masyarakat terhadap pemberitaan media yang ‘naif’ merupakan peluang besar untuk melakukan orasi dan pembentukan citra terhadap publik. Korelasi antara media massa dengan dunia politik sebenarnya telah berlangsung lama, dan tidak hanya di Indonesia. Amerika Serikat pernah mengalami hal yang serupa di mana tokoh-tokoh politik pernah menggunakan media massa untuk mendapatkan kursi kekuasaan, di mana pelopornya adalah John F. Kennedy. John F. Kennedy menjadi presiden televisi pertama di Amerika. Kemunculan Kennedy di televisi memang untuk pertama kali, tetapi ia telah mengetahui bagaimana menggunakan televisi. (Biagi, 2010 : 215).

Dengan memandang fenomena seperti itu, tidak salah apabila kemudian kita bisa membuat sebuah pandangan bahwa pemilik media merupakan pihak yang memiliki peluang paling besar untuk meraup keuntungan di dunia politik. Kemunculan Partai Nasional Demokrat yang dipimpin oleh Surya Paloh merupakan sebuah ‘ancaman’ tersendiri bagi Partai Demokrat yang notabene tidak memiliki media massa. Sebagaimana diketahui saat ini Surya Paloh, sang pemilik MetroTV telah merangkul pemilik media massa lain seperti Trans Corp (dipimpin Chaerul Tanjung) serta MNCTV Group (dipimpin oleh Hari Tanoesudibjo). Belum lagi Aburizal Bakrie yang akan maju dalam Pilpres pada 2014 mendatang dengan Partai Golongan Karya. Bakrie memiliki TVOne dan ANTV. Jadi, bukan perkara sulit bagi mereka untuk membentuk citra di hadapan publik. Pembentukan opini public melalui orasi-orasi yang dilancarkan oleh mereka menjadi semacam teknik jitu dalam mempersiapkan diri untuk bertarung di 2014.

Sebagai media pembentuk opini yang paling besar, televisi sebenarnya selalu menghadirkan bentuk-bentuk konstruksi realitas yang terkadang jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Hal ini tidak jarang digunakan oleh kalangan-kalangan tertentu untuk kepentingan politis. Konstruksi realitas kadang mampu menghadirkan dunia kesadaran jauh sebelum manusia memahamai eksistensi materi dari apa yang disadari itu sendiri. (Bungin, 2008 : 69). Berangkat dari pemahaman tersebut, maka media massa berusaha untuk melakukan penggambaran-penggambaran yang membentuk sebuah pandangan manusia terhadap dunianya. Pada era reformasi ini, ketika seseorang mampu membentuk partai politik sendiri, dan memiliki media massa sebagai ‘corong’ untuk melakukan propaganda, maka bukanlah sebuah hal yang aneh ketika sebentuk kekuasaan itu menjadi tujuan akhir dari apa yang direncanakan selama ini.

Berdasarkan penjabaran di atas maka peneliti mengambil sebuah tema penelitian tentang kepemilikan media massa dengan judul “Penerapan Kekuasaan Pemilik Media Massa terhadap Tayangan Media Massa sebagai Kendaraan Politik menuju Pemilu 2014” (Analisis Wacana Kritis Kepemilikan Media Massa Metro TV (Surya Paloh) dan TVOne (Aburizal Bakrie) sebagai kendaraan Politik untuk Mendapatkan dukungan pada Pemilu 2014).

Merujuk pada pengambilan judul dan penjabaran di atas maka penelitian ini mengambil rumusan masalah yaitu bagaimana Penerapan Kekuasaan Pemilik Media Massa  terhadap tayangan berita dan iklan sebagai Alat Politik menuju Pemilu 2014” (Analisis Wacana Penerapan Kekuasaan Pemilik Media Massa terhadap tayangan berita dan iklan di Metro TV (Surya Paloh) dan TVOne (Aburizal Bakrie) sebagai Alat Politik untuk Mendapatkan dukungan pada Pemilu 2014).

Penelitian ini memiliki tujuan yaitu untuk mengetahui Penerapan Kekuasaan Pemilik Media Massa terhadap berita dan iklan  sebagai Alat Politik menuju Pemilu 2014” (Analisis Wacana Penerapan Kekuasaan pemilik terhadap tayangan berita dan iklan politik Metro TV (Surya Paloh) dan TVOne (Aburizal Bakrie) sebagai alat untuk Mendapatkan dukungan pada Pemilu 2014).

Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode analisis wacana, pendekatan yang digunakan yaitu kualitatif. Sebagaimana diketahui dalam setiap kegiatan bahwa penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif memiliki sifat yang subjektif, dan tentunya sebagaimana penelitian-penelitian kualitatif lainnya, besarnya populasi atau sampel bukanlah suatu hal yang utama atau bersifat esensial, sebab populasi dan sampling yang digunakan jumlahnya relatif sedikit. Sampel dalam penelitian ini bukanlah suatu elemen yang diukur. Jika data yang terkumpul sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya.

Penelitian ini membahas mengenai penerapan kekuasaan pemilik media terhadap tayangan media massa sebagai sebuah kendaraan politik menuju pemilihan umum. Sebagaimana diketahui, saat ini banyak pemilik media yang juga berkecimpung di ranah politik, sehingga mereka menggunakan media yang mereka miliki untuk membentuk opini publik sekaligus pencitraan terhadap diri mereka sendiri.

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis wacana Teun Van Dijk, dimana terdapat tiga dimensi analisis yang digunakan yaitu :

  1. Teks

Merupakan konsep teks yang dianalisis secara lingusitik meliputi bahasa, teks, tanda dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini merupakan bentuk bahasa dalam tayangan berita atau iklan yang diteliti, yaitu dari MetroTV dan TVOne.

  1. Kognisi Sosial

Merupakan proses produksi berita atau teks berita yang melibatkan kognisi sosial seperti konstruksi wartawan serta perspektif pengamat berdasarkan berita yang dibuat oleh wartawan atau redaksi institusi media.

  1. Konteks

Mempelajari bangunan atau konstruksi wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Implementasinya bisa melalui pengamatan terhadap media lain (selain Metro dan TVOne) yang mengangkat tema serupa.

Pemilik media massa Metro TV yaitu Surya Paloh dan TVOne yaitu Aburizal Bakrie memiliki pengaruh terhadap tayangan berita maupun iklan di stasiun televisi yang mereka miliki. Ketika mereka berkecimpung di bidang politik, maka dipastikan beberapa tayangan berita dan iklan menjadi sebuah bentuk pencitraan dan konstruksi personal terhadap pemilik media massa. Aspek tersebut, melalui analisis wacana Teun Van Dijk, dapat dibuktikan sebagai berikut :

  1. Teks

Melalui aspek teks, baik Surya Paloh maupun Aburizal Bakrie dikonstruksi sedemikian rupa sebagai seseorang yang berwibawa, sekaligus ketua umum partai yang visioner, dengan sebutan “Tokoh Restorasi Indonesia” bagi Surya Paloh, maupun “ARB” sebagai presiden 2014 bagi Aburizal Bakrie. Beberapa awak Metro TV juga mengungkapkan, bahwa Partai Nasdem yang saat ini telah menetapkan Surya Paloh sebagai Ketua Umum, memiliki visi dan misi untuk mensejahterakan rakyat Indonesia dan melakukan restorasi dalam berbagai bidang. Kemudian untuk partai Golkar, sebutan ARB (Aburizal Bakrie), penulisan Ketua Umum Partai Golkar, serta penayangan iklan ARB, menjadi sebuah bentuk pencitraan dan konstruksi yang dilakukan oleh pemilik media massa.

 

  1. Kognisi Sosial

Pada aspek kognisi sosial, masyarakat, kaum akademisi dan praktisi juga memiliki pandangan yang sama terhadap dua orang tersebut. Sebagai pemilik media massa, mereka memiliki cara tersendiri untuk mencitrakan dirinya, terutama ketika ada sebuah kasus. Hal ini merujuk pada bentuk pemberitaan mengenai kasus semburan lumpur di Sidoarjo. TVOne dan Metro TV memiliki cara sendiri untuk menjaga ‘martabat’ pemilik mereka. TVOne tidak pernah memberitakan kasus tersebut sebagai kesalahan Bakrie, sedangkan Metro TV lebih menyoroti kasus tersebut sebagai kesalahan Bakrie. Perang urat saraf antar pemilik ini diindikasikan sebagai langkah untuk memuluskan sekaligus mendapatkan dukungan masyarakat. Narasumber yang diwawancarai oleh peneliti di sini juga mengungkapkan, pengaruh pemilik media juga besar dalam pembentukan setiap tayangan, terutama berita dan iklan, terlebih ketika pemilik terjun di dunia politik.

 

 

 

  1. Konteks

Pada aspek konteks, hasil yang didapat oleh peneliti adalah media lain lebih menyoroti bagaimana kiprah dua ketua umum partai politik ini dalam menuju pemilihan umum 2014. Namun dalam beberapa tayangan, media lain seperti SCTV maupun RCTI secara tidak langsung meningkatkan citra mereka dengan memberikan sebuah teks sebagai “Ketua Umum”. SCTV misalnya, memberitakan Surya Paloh berkaitan dengan keluarnya Hary Tanoe dari Nasdem ketika Surya Paloh menjabat sebagai Ketua Umum. Begitu pula ketika diberitakan bahwa Hary Tanoe akan ‘menyeberang’ ke Golkar, Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Golkar secara tidak langsung terangkat citranya. Secara keseluruhan, aspek konteks menjabarkan bahwa media massa lain, yang tidak dimiliki oleh Surya Paloh maupun Aburizal Bakrie, lebih objektif dalam melakukan pemberitaan, di mana fenomena yang menjadi perhatian utama dari masyarakat merupakan berita yang kemudian diangkat oleh media tersebut.

Berdasarkan penjabaran di atas, maka bisa dilihat bagaimana konsep ekonomi politik media mulai terimplementasikan. Political economy is the study of the social relations, particularly the power relations, that mutually constitute the production, distribution, and consumption of resources, including communication resources. (Mosco, 2009 : 2). Pendapat Mosco tersebut memberikan gambaran bagaimana ekonomi politik media yang terjadi dalam tubuh institusi media di atas. Bakrie dan Paloh menggunakan kekuasaan mereka sebagai pemilik untuk membentuk berita yang mencitrakan diri mereka di mana kemudian hasil citra tersebut digunakan dalam ranah politik praktis menuju 2014. Kekuasaan dan hegemoni media massa menjadi cara mereka untuk terjun di dunia politik praktis, untuk mendapatkan kekuasaan lain di masyarakat, yaitu sebagai pemimpin negara.

Walaupun pada kenyataannya, hasil elektabilitas tidak menempatkan keduanya di urutan teratas, namun apa yang mereka lakukan melalui media yang dimilikinya menjadi sebuah fenomena yang tidak bisa kita pandang sebelah mata. Bagaimanapun juga, media memiliki pengaruh tersendiri di masyarakat, sehingga akan menjadi permasalahan tersendiri ketika digunakan dalam politik praktis.

Dengan menggunakan analisis wacana Teun Van Dijk yaitu Teks, Kognisi Sosial dan Konteks, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pemilik media memiliki pengaruh terhadap isi tayangan terhadap media massa yang mereka miliki. Pengaruh tersebut tampak pada pemberitaan dan juga iklan. Penelitian ini mengkhususkan pada Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh dan TVOne yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie. Sebagaimana diketahui bahwa Surya Paloh saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Nasional Demokrat dan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golongan Karya. Ketika pemilik media massa berkecimpung di bidang politik, maka pengaruh yang diimplementasikan terhadap isi tayangan semakin kuat. Analisis wacana Teun Van Dijk dapat membuktikan bentuk-bentuk pengaruh sebagai berikut :

  1. Teks

Melalui aspek teks, baik Surya Paloh maupun Aburizal Bakrie dikonstruksi sedemikian rupa sebagai seseorang yang berwibawa, sekaligus ketua umum partai yang visioner, dengan sebutan “Tokoh Restorasi Indonesia” bagi Surya Paloh, maupun “ARB” sebagai presiden 2014 bagi Aburizal Bakrie. Beberapa awak Metro TV juga mengungkapkan, bahwa Partai Nasdem yang saat ini telah menetapkan Surya Paloh sebagai Ketua Umum, memiliki visi dan misi untuk mensejahterakan rakyat Indonesia dan melakukan restorasi dalam berbagai bidang. Kemudian untuk partai Golkar, sebutan ARB (Aburizal Bakrie), penulisan Ketua Umum Partai Golkar, serta penayangan iklan ARB, menjadi sebuah bentuk pencitraan dan konstruksi yang dilakukan oleh pemilik media massa.

 

  1. Kognisi Sosial

Pada aspek kognisi sosial, masyarakat, kaum akademisi dan praktisi juga memiliki pandangan yang sama terhadap dua orang tersebut. Sebagai pemilik media massa, mereka memiliki cara tersendiri untuk mencitrakan dirinya, terutama ketika ada sebuah kasus. Hal ini merujuk pada bentuk pemberitaan mengenai kasus semburan lumpur di Sidoarjo. TVOne dan Metro TV memiliki cara sendiri untuk menjaga ‘martabat’ pemilik mereka. TVOne tidak pernah memberitakan kasus tersebut sebagai kesalahan Bakrie, sedangkan Metro TV lebih menyoroti kasus tersebut sebagai kesalahan Bakrie. Perang urat saraf antar pemilik ini diindikasikan sebagai langkah untuk memuluskan sekaligus mendapatkan dukungan masyarakat. Narasumber yang diwawancarai oleh peneliti di sini juga mengungkapkan, pengaruh pemilik media juga besar dalam pembentukan setiap tayangan, terutama berita dan iklan, terlebih ketika pemilik terjun di dunia politik.

 

  1. Konteks

Pada aspek konteks, hasil yang didapat oleh peneliti adalah media lain lebih menyoroti bagaimana kiprah dua ketua umum partai politik ini dalam menuju pemilihan umum 2014. Namun dalam beberapa tayangan, media lain seperti SCTV maupun RCTI secara tidak langsung meningkatkan citra mereka dengan memberikan sebuah teks sebagai “Ketua Umum”. SCTV misalnya, memberitakan Surya Paloh berkaitan dengan keluarnya Hary Tanoe dari Nasdem ketika Surya Paloh menjabat sebagai Ketua Umum. Begitu pula ketika diberitakan bahwa Hary Tanoe akan ‘menyeberang’ ke Golkar, Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Golkar secara tidak langsung terangkat citranya. Secara keseluruhan, aspek konteks menjabarkan bahwa media massa lain, yang tidak dimiliki oleh Surya Paloh maupun Aburizal Bakrie, lebih objektif dalam melakukan pemberitaan, di mana fenomena yang menjadi perhatian utama dari masyarakat merupakan berita yang kemudian diangkat oleh media tersebut.

 

Beberapa penjelasan di atas telah dapat menyimpulkan bentuk-bentuk pengaruh pemilik media massa yang berkecimpung di bidang politik terhadap isi dan tayangan berita maupun iklan di televisi yang mereka miliki. Selain itu, bisa juga disimpulkan pemilik media massa yang berkcimpung di bidang politik dipastikan memiliki pengaruh terhadap isi tayangan media massa.

 

 
Comments Off on Kiprah New Media dalam Percaturan Politik di Indonesia

Posted in Uncategorized