RSS
 

Archive for the ‘Uncategorized’ Category

MEMBACA KONSEP KEKUASAAN DALAM SIMBOL DAN IDENTITAS BUDAYA MALANG MELALUI BAHASA “WALIKAN” (disampaikan dalam Seminar Nasional Linguistik di Universitas Hassanudin pada 17 Mei 2017)

22 Feb

Bahasa merupakan salah satu “alat” yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi. Dalam sebuah bahasa terkandung makna yang dapat dipahamim oleh pengguna bahasa tersebut. Dengan berlandaskan pada konsep lisan dan tulisan, bahasa berkembang tidak hanya menjadi alat komunikasi saja, namun penggunaan bahasa berada dalam tataran melakukan sebuah konstruksi hingga sampai pada tataran hegemoni masyarakat luas. Pada tataran awal, secara struktur bahasa disusun dari berbagai bentuk tanda dan simbol secara visual Oleh sebab itu, bahasa terkesan menitikberatkan pada bahasa tulisan. “Menurut de Saussure, bahasa tulis merupakan “turunan” dari bahasa lisan. Sehingga bahasa yang utama adalah bahasa lisan.” (Hoed, 2014 : 68).

Dalam perspektif budaya populer, bahasa merupakan bagian dari rutinitas interaksi manusia yang memiliki ciri dan identitas tertentu. Apabila dikaitkan dengan posisi manusia sebagai subjek dan pelaku komunikasi, bahasa menjadi semacam tools untuk menyampaikan segala hal yang ada di dalam pikiran, seperti gagasan, ide, hingga sebuah bentuk konstruksi sosial. Dalam struktur dan kaidah berbahasa, kita perlu melihat ke dalam dua aspek utama yaitu langue yang merupakan tataran konsep atau kaidah, dan parole yang berada dalam tataran praktis (penggunaan bahasa tersebut). Dengan berpegang pada dua hal tersebut, penggunaan bahasa akan lebih efektif dan mudah dimengerti.

“Pemakaian bahasa sendiri juga menjadi salah satu cara untuk menentukan identitas. Secara universal, bahasa selalu dirasakan sebagai memiliki kapasitas yang, lebih dari kapasitas lain, membedakan umat manusia dari semua spesies lain.” (Danesi, 2011 : 108). Berangkat dari penjabaran tersebut dapat kita lihat bahwa bahasa tidak hanya sebagai alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi, namun bahasa telah menjadi sebuah sarana yang memiliki tingkat otorisasi antar spesies. Menilik pendapat dari Danesi di atas, secara harfiah bahasa merupakan bentuk dari eksistensi manusia. Dengan menggunakan bahasa, kita dapat memiliki sebuah bentuk pengakuan bahwa kita manusia merupakan makhluk yang memiliki nilai, norma dan rasa terhadap fenomena yang ada di alam ini.

Dengan kita yang memahami mengenai struktur dan konsep bahasa, serta hidup di negara yang memiliki bahasa yang beragam maka sudah pasti kita akan semakin memahami posisi bahasa yang kita gunakan. Indonesia, negara dengan ratusan jenis bahasa, menjadikan bahasa sebagai alat pemersatu. Namun perlu diketahui juga bahwa bahasa juga memiliki konsep kekuasaan. Terlebih dalam perspektif budaya lokal. Bahasa lokal atau bahasa daerah memiliki konsep kekuasaan yang tentunya berbeda dengan bahasa nasional. Bahasa Jawa misalnya, dengan kultur yang khas dan penerapan nilai dan moral yang tinggi, memiliki struktur yang cukup rumit.

Bahasa Jawa di wilayah kota Malang sebagai contoh dalam tulisan kali ini. Bahasa Jawa di Malang berbentuk sebuah bahasa yang memunculkan identitas budaya Malang. Kenapa kami menyebut “Malang” dalam tulisan ini? Bukan Kota Malang atau Kabupaten Malang? Karena baik Kota maupun Kabupaten Malang secara keseluruhan memiliki kesamaan dalam bahasa dan budaya. Bahasa Malang lebih dikenal dengan bahasa Walikan. Bisa dikatakan bahwa bahasa Walikan di Malang merupakan bentuk bahasa populer yang memiliki struktur bahasa secara baku namun dibalik susunan hurufnya hingga membentuk sebuah kata baru. Kemunculan bahasa Walikan ini tidak terlepas dari segi historis. Salah satu pahlawan nasional yang berasal dari Malang, Hamid Rusdi, menggunakan sandi rahasia untuk berkomunikasi dengan pejuang Indonesia lainnya. Tujuannya adalah agar penjajah tidak mengetahui maksud dan tujuan sandi tersebut. Sandi itu berbentuk bahasa Jawa dan Indonesia yang dibalik susunannya berikut pelafalannya.

Dalam perkembangannya, bahasa Walikan ini kemudian berubah menjadi sebuah identitas komunal bagi masyarakat Malang. Berkaitan dengan hal itu kita mengetahui bahwa secara praktik bahasa memiliki tingkat kekuasaan sendiri. “Bahasa adalah tempat pertarungan kuasa dan dusta, penaklukan dan perlawanan, hegemoni dan kontestasi. Maka, dalam budaya populer, bahasa adalah wahana pementasan gaya hidup dan bahkan gaya hidup itu sendiri.” (Ibrahim, 2011 : 121). Merujuk pada penjelasan tersebut, kita bisa membawa gagasan tersebut dalam kajian bahasa Walikan ini.

KEKUASAAN DALAM BAHASA WALIKAN

Bahasa Walikan dalam bahasa Indonesia berarti bahasa yang dibalik (walik = balik). Sebagai bahasa khas Malang, tentunya bahasa Walikan tidak hanya sekedar alat untuk berkomunikasi saja. Namun, bahasa Walikan memiliki makna yang konkrit sebagai bentuk identitas serta memiliki konsep kekuasaan. Konsep langue yang menyertai kalimat tersebut secara makro sudah benar, walaupun ada beberapa kata yang masih mengedepankan sifat “ke-daerah-an”, yaitu kata arek. Namun, secara parole konsep kekuasaan dalam teks tersebut memegang peranan yang dominan. Penekanan pada kalimat “Bicaralah seperti Arek Malang” menegaskan tentang dominasi identitas warga Malang bagi siapapun yang ada di wilayah Malang. Penambahan kata Walikan “Oyisam” (iyo mas = iya mas) secara eksplisit menggambarkan eksistensi bahasa Walikan tersebut. Dalam perkembangannya, bahasa Walikan juga menjadi salah satu penggambaran dekonstruksi dalam sebuah struktur bahasa atau teks.

Kita bisa mengartikan bahwa teks-teks tersebut memiliki sebuah ideologi dan kekuasaan yang terkandung melalui maknanya. Identitas yang terbentuk dalam teks tersebur mengartikan bagaimana ‘kekuasaan’ budaya Malang memberikan konstruksi terhadap tata cara dalam berbahasa, baik secara lisan maupun tulisan. Selain itu, bentuk dekonstruksi dalam teks tersebut mengambarkan adanya sebuah pola baru dalam berbahasa. “Gagasan dasar dekonstruksi mau menyingkap pusat teks itu dan ingin melihat apa yang akan terjadi terhadap strukturnya itu bila suatu konsep dihilangkan.” (Haryatmoko, 2016 : 136). Pendapat tersebut memiliki korelasi gagasan dengan fenomena Bahasa Walikan ini. Konsep yang dihilangkan dalam teks bahasa Walikan adalah pembalikan struktur penulisan dan bahasa yang konservatif dan konvensional menjadi sebuah struktur bahasa dan pelafalan baru, namun tidak menghilangkan makna asli.

Bahasa Walikan Malang selain menjadi identitas bagi masyarakat Malang, juga menjadi sebuah simbol. Arti dari simbol disini tidak hanya merepresentasikan sebuah konsep visual semata, namun sampai pada tataran pride atau kebanggaan bagi penggunanya. Teks yang menggambarkan tentang konsep simbol dan kekuasaan dalam sebuah budaya, terangkum dalam gambar tersebut. Selain itu, dalam gambar tersebut juga ada kalimat yang merepresentasikan tentang Boso Walikan. Sehingga, interpretasi yang terbentuk adalah simbol kebanggaan Malang yang terkorelasi dengan tutur bahasa khas Malang. Penggunaan bahasa Walikan tidak hanya sekedar penerapan tradisi Retorika, namun juga mengalami pergeseran hingga menjadi sebuah kajian kritis, yaitu perlawanan terhadap  sebuah keteraturan membentuk struktur baru atau yang lebih kita kenal dengan sebutan dekonstruksi.

PEMBAHASAN

Penjabaran di atas memberikan gambaran kepada kita mengenai konsep kekuasaan dalam sebuah teks dan simbol melalui struktur sebuah bahasa. Bahasa Walikan Malang memberikan arti tentang adanya kekuasaan yaitu kekuasaan dalam membentuk identitas serta budaya masyarakat Malang. Perlawanan terhadap sebuah kemapanan dan keteraturan berbahasa ternyata juga berasal dari sebuah peristiwa historis. Tanpa kita sadari sebuah strategi dalam sebuah peperangan yang tidak disengaja, telah mengantarkan strategi tersebut dalam sebuah pengetahuan baru dalam berbahasa.

Penentuan konsep berbahasa yang bergeser jauh dari sturktur yang telah diyakini kebenarannya, bukanlah sebuah kesalahan, apalagi dianggap sebagai hal yang tabu. Contohnya terdapat dalam bahasa Walikan ini. Membalik sebuah struktur bahasa ternyata tidak dianggap sebuah kesalahan. Alih-alih ada sebuah sanksi atau bentuk pelanggaran, bahasa Walikan ternyata mampu membentuk sebuah identitas dan kekuasaan yang diakui sebagai budaya masyarakat modern, khususnya di wilayah Malang. Peneguhan terhadap pride yang terbentuk tidak hanya semata pada simbol atau objek visual yang nampak, namun juga pada sebuah pelafalan lisan dan juga tulisan. Oleh sebab itu, keterkaitan antara bahasa dengan simbol budaya di wilayah Malang menjadi sebuah korelasi antar teks yang membentuk sebuah wacana dan konsep kekuasaan.

Apabila ditarik kembali ke awal, konsep bahasa dengan teori-teori yang menyertainya, teori komunikasi misalnya, merupakan suatu fenomena yang memiliki irisan yang sangat konkrit dan mendalam. Bahasa dengan manusia, merupakan bentuk ‘alat’ dan ‘subyek’ pelaku komunikasi. Noam Chomsky mengatakan bahwa tata bahasa transformasional mendorong psikolinguistik ke sebuah bidang penuh dengan pencarian.[1] Implementasi dari pemikiran diatas dapat kita lihat dari Bahasa Walikan tersebut. Penekanan terhadap kode budaya dan komunikasi mengantarkan kita pada sebuah pandangan adanya korelasi antara budaya populer dengan konsep kekuasaan.

Sebagai sebuah identitas suatu wilayah, Bahasa Walikan tidak hanya berfungsi sebagai lambang atau pengenal saja. Namun, bahasa Walikan memberikan sebuah konsep pandangan baru dalam berinteraksi. Perspektif dalam studi bahasa memberikan pemahaman pada kita tentang pentingnya sebuah struktur dan kajian yang lebih holistik. “Studi bahasa dan komunikasi merupakan sebuah studi lintasdisiplin. Dalam hal ini, terdapat banyak pertanyaan, metode  dan orientasi yang mempengaruhi riset, begitu pula banyak sekali bahasa dan dialek yang juga mempengaruhi riset.” (Berger, Rollof, Roskos-Ewoldsen, 2014 : 106). Pandangan tersebut memberikan penggambaran pada kita bahwa kajian mengenai bahasa merupakan kajian yang luas, memerlukan metode yang empiris dan mendalam. Hal ini diperkuat dengan pendapat Chomsky di atas, yang mengartikan bahwa bahasa dan manusia merupakan satu kesatuan. Dalam menggunakan bahasa, manusia tidak dapat terlepas dari konsep psikologis dan bawaan. Konstruksi budaya dan latar belakang yang membentuk seseorang dalam berbahasa.

Implementasinya dapat kita lihat dalam Bahasa Walikan tersebut. Seseorang yang berasal dari Malang, maka secara alamiah dia akan mengenal Bahasa Jawa dan Bahasa Walikan. Karena struktur tersebut yang membentuk identitas, dan tentunya secara proximity, bahasa Walikan lebih dekat dengan keseharian masyarakat Malang. Sehingga, masyarakat Malang secara tidak langsung akan melakukan sebuah klasifikasi dan stratifikasi terhadap segala bahasa yang dia kenal, dengan Bahasa Walikan berada dalam strata atas tentunya. Konsep inilah yang mendasari adanya kekuasaan yang terdapat dalam Bahasa Walikan.

REFERENSI

Berger, C. R. (2014). Handbook Ilmu Komunikasi. Penerjemah : Derta Sri Widowatie. Bandung. Nusamedia.

Danesi, M. (2011). Pesan, Tanda, dan Makna. Penerjemah : Evi Setiarini dan Lusi Lian Piantari. Yogyakarta. Jalasutra.

Haryatmoko. (2016). Membongkar Rezim Kepastian. Yogyakarta. Kanisius.

Hoed, B.H. (2014). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok. Komunitas Bambu.

Ibrahim, I.S. (2007). Budaya Populer sebagai Komunikasi. Yogyakarta. Jalasutra


[1] Pembahasan ini merupakan hasil telaah Charles Berger mengenai perkembangan bahasa sebagai kode komunikasi yang disarikan dari buku The Handbook of Communication Science (2014).

 
Comments Off on MEMBACA KONSEP KEKUASAAN DALAM SIMBOL DAN IDENTITAS BUDAYA MALANG MELALUI BAHASA “WALIKAN” (disampaikan dalam Seminar Nasional Linguistik di Universitas Hassanudin pada 17 Mei 2017)

Posted in Uncategorized

 

Trend Media Sosial di Kalangan Remaja dalam Perspektif Budaya Populer (disampaikan dalam Konferensi COMICOS di Universitas Atmajaya)

26 Jul

Perkembangan teknologi komunikasi menjadi sebuah tonggak sejarah bagi umat manusia, khususnya dalam aspek dunia komunikasi massa. Dalam bidang ilmu pengetahuan misalnya, komunikasi massa memiliki peranan penting untuk menyambungkan linkage  masyarakat di dunia ini. Sebagaimana kita ketahui bahwa komunikasi dapat dikatakan bentuk eksistensi manusia. Komunikasi tidak hanya berfungsi sebagai penyampaian pesan kepada masyarakat saja, tetapi juga merupakan bentuk konstruksi realitas sosial. Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur, dan memupuk hubungan dengan orang lain. (Mulyana, 2005 : 5).

Manusia yang secara sadar pasti (dan tidak bisa tidak) akan selalu berkomunikasi. Ungkapan “We cannot not communicate”  merupakan salah satu bentuk realisasi manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Kemampuan dalam berkomunikasi menentukan tingkat kredibilitas manusia. Berdasarkan fenomena tersebut, kehidupan sosial manusia  menjadi lengkap. Bisa dibayangkan apabila kita, manusia, yang dibekali kecerdasan dan kemampuan intelektual tingkat tinggi tidak melakukan komunikasi sama sekali, alih-alih melakukan interaksi sosial yang kompleks, maka kita tidak akan menemukan konsep hidup yang sempurna. Pembentukan konsep hidup manusia dalam masyarakat pastinya diawali dengan konsep diri masing-masing individu. Konsep diri adalah pandangan kita mengenai siap diri kita, dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita. (Mulyana, 2005 : 7). Berangkat dari konsep diri yang terbentuk itulah kita mulai melangkah menuju kompleksitas dan dinamika di masyarakat dengan sebuah identitas yang kita miliki.

Komunikasi yang terbentuk secara perlahan itulah yang kemudian mengalami perkembangan. Mulai dari komunikasi intrapersonal hingga ke komunikasi massa. Mulai dari komunikasi antar manusia hingga komunikasi yang paling modern dengan menggunakan teknologi canggih. Everett M Rogers membagi perkembangan teknologi komunikasi menjadi 4 (empat) era, yaitu :

 

  1. Writing Era
  2. Pritnting Era
  3. Telecommunication Era
  4. Interactive Communication Era

 

Writing Era merupakan era atau masa di mana manusia mulai mengenal tulisan. Era ini, menurut Rogers, merupakan bentuk penemuan aktualisasi diri manusia yang menemukan cara berkomunikasi baru dengan menggunakan symbol-simbol yang disebut huruf. Orang Mesir kuno menggunakan lambang-lambang yang disebut hieroglyph sebagai bentuk komunikasi mereka melalui tulisan. Bangsa Cina juga mengenalkan tulisan pertama kali dengan menggunakan lambang-lambang tertentu. Perkembangan tulisan mengalami evolusi yang dinamis hingga kita mengenal huruf alphabet seperti sekarang ini.

Printing Era ditandai dengan penemuan mesin cetak oleh Gutenberg. Penemuan mesin cetak ini menandai dimulainya era teknologi komunikasi. Teknologi pertama yang menjadi batu loncatan adalah mesin cetak Gutenberg ini. Dengan menggunakan mesin ini, Gutenberg menyebarkan surat-surat pengampunan dosa yang controversial tersebut. Mesin tersebut kemudian berkembang menjadi mesin cetak surat kabar, di mana surat kabar pertama di dunia adalah Penny Press. Disebut Penny Press karena waktu harganya hanya 1 penny, dan berisi satu berita saja. Dengan ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg tersebut, perkembangan media massa menjadi pesat, terutama di bidang media cetak. Semakin hari media cetak semakin bertambah banyak. Berita yang dimuat dari yang awalnya berisi berita-berita keagamaan, pesan raja, mulai bertambah dengan dimuatnya berita-berita yang berkaitan dengan fenomena sosial. Hingga saat ini, media cetak yang kita nikmati setiap harinya merupakan hasil evolusi media cetak jaman dahulu. Koran menjadi seperti sebuah kebutuhan primer bagi masyarakat dunia modern saat ini.

Telecommunication Era  merupakan era dimana perkembangan teknologi komunikasi mengalami jaman keemasan. Era ini ditandai dengan mulai ditemukannya alat komunikasi elektronik jarak jauh. Alexander Graham Bell menemukan telegraf dan telepon, Guglielmo Marconi menemukan radio, dan Philo T Fansworth menemukan televisi. Penemuan televisi dianggap sebagai loncatan paling besar dalam dunia teknologi komunikasi, sebab televisi menjadi salah satu media massa yang paling digemari masyarakat karena mampu menghadirkan audio visual. Acara yang disajikan juga semakin beragam. Pada tahun 1928 General Electronic Company mulai menyelenggarakan acara siaran televisi secara regular. (Ardiyanto, 2007 : 136).

Interactive Communication Era merupakan era terakhir menurut Rogers, di mana ini merupakan era pengembangan dari era telekomunikasi. Era ini ditandai dengan ditemukannya internet sebagai media baru (new media).  Internet dikatakan sebagai new media karena sampai saat ini tidak bisa didefinisikan secara konkrit. Internet juga merupakan bentuk dari konvergensi media, yaitu dua bentuk media yang disatukan ke satu bentuk media. Era terakhir ini juga menandakan bahwa teknologi komunikasi semakin canggih.

Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi komunikasi saat ini, manusia dituntut untuk bisa berjalan selaras dengan perkembangan tersebut. Dengan meningkatkan kemampuan intelektualitas, manusia dipastikan tidak akan tergerus oleh jaman. Kecanggihan teknologi diikuti dengan bermunculannya industri-industri media massa seperti surat kabar, televisi, majalah dan lain sebagainya. Negara maju seperti Amerika Serikat, dapat dikatakan menjadi pemimpin dalam dunia media massa. Terdapat sekitar 1.500 surat kabar harian di Amerika Serikat. (Biagi, 2010 : 11). Dengan jumlah surat kabar harian sebanyak itu, dapat dipastikan informasi setiap detik dapat diketahui oleh masyarakat Amerika Serikat.

Media massa menjadi sebuah aspek yang bisa kita katakan tidak terpisahkan dari masyarakat masa kini. Perkembangan teknologi media telah memberikan dampak yang begitu besar di masyarakat. Berbagai bentuk informasi telah disampaikan kepada masyarakat dalam hitungan detik. Fenomena ini telah menjadikan media massa sebagai alat pemenuhan kebutuhan masyarakat yang utama. Perkembangan teknologi media massa selain memberikan bentuk-bentuk perubahan sosial di masyarakat juga memberikan sebuah keuntungan tersendiri di masyarakat.

Apabila dibandingkan dengan masa lalu, di mana informasi masih tergolong sulit untuk di dapatkan, saat ini setiap detik perkembangan informasi bisa di dapatkan oleh masyarakat. Konsep yang menjadi dasar pemikiran dari media massa ini adalah penyampaian informasi secepat dan setepat mungkin. Untuk itu dibutuhkan sebuah pola pemahaman lebih mendalam mengenai perkembangan media massa. Perkembangan media massa merupakan titik pangkal dari perubahan masyarakat dari masyarakat konvensional ke masyarakat informasi. Setidaknya itulah ekspektasi dari masyarakat terhadap perkembangan dunia teknologi di era informasi.

Perkembangan dunia teknologi yang seharusnya membantu atau mempermudah kehidupan masyarakat, saat ini telah melampaui ekspektasi tersebut. Dikatakan melampaui sebab tidak hanya mempermudah dan menyelesaikan permasalahan namun telah terjadi pergeseran fungsi dari media sosial tersebut. Apabila ditinjau lebih lanjut, perkembangan dunia teknologi informasi di era global saat ini menjadi salah satu daya tarik bagi konsumen media untuk menikmati produk dari teknologi tersebut. Ketika produk tersebut digemari oleh masyarakat hingga menjadi trend, fenomena-fenomena menarik mulai bermunculan. Salah satu aspek yang dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimana ketika new media telah menjadi trend di kalangan anak muda atau remaja.

Kehadiran new media di tengah masyarakat telah merubah praktik komunikasi kita saat ini. Perubahan praktik tersebut ironisnya menjadi salah satu komoditi industrialisasi. Sebab, kemunculan sosial media telah merubah sistem dan praktik manusia dalam berkomunikasi. Pola identitas masyarakat, pertukaran simbol-simbol dan teks komunikasi, sampai pada tataran decision making, hampir semuanya difasilitasi oleh media sosial. Fenomena tersebut bisa dikatakan sebagai bagian dari budaya populer, yang kemudian menjadi trend di kalangan remaja. Popularitas media baru di kalangan remaja tidak lepas dari trend dan kebutuhan yang terbentuk sesuai dengan pola pergaulan. Memang, perkembangan budaya populer cenderung terjadi pada masyarakat urban, dimana kaum ‘kelas menengah’ lebih sering menjadi ‘aktor’ dari perkembangan tersebut. Produk teknologi komunikasi yang menjadi bagian dari budaya populer yang berkembnag di masyarakat urban, menjadi salah satu komoditi konsumsi mereka. Kebanyakan orang yang mengonsumsi dan memproduksi budaya populer disebut ‘kelas menengah’ yang hidup di kawasan urban dan industrial. (Heryanto, 2015 h 23 ). Mereka ini “bukanlah anggota kelompok elite dalam pengertian filosofis, estetis dan politis, dan bukan pula kaum proletariat atau kelas bawah baru” (Kahn, 2001 dalam Heryanto, 2015, ibid).

Merujuk pada kilasan di atas, bisa diambil sebuah pemikiran bagaimana sebenarnya masyarakat menggunakan produk dari kemajuan teknologi yang dipadukan dengan pemahaman mereka terhadap ruang lingkup sosial dan budaya di mana mereka berinteraksi dan berkomunikasi. Sasaran yang dianggap memiliki kemampuan untuk menggunakan produk teknologi komunikasi tidak terlepas dari munculnya anggapan mengenai konsep literasi media.

 

Media Sosial dan Ideologi Media di Kalangan Remaja

Berbicara mengenai media sosial maka kita akan langsung berhadapan dengan sebuah kemajuan teknologi di bidang komunikasi. Terlebih ketika merujuk pada teori Computer Mediated Comunication, perkembangan teknologi komunikasi menjadi bagian penting dari sebuah proses komunikasi di masyarakat. Namun, yang perlu untuk mendapat perhatian lebih adalah bagaimana kemudian media sosial telah mengalami pergeseran fungsi di kalangan anak remaja. Media sosial telah bergeser dari yang semula berfungsi untuk berkomunikasi telah berubah menjadi ajang untuk membentuk citra diri maupun identitas yang baru. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya new media telah memberikan ‘wajah’ baru di kalangan masyarakat.

Keberadaan media baru yang saat ini digemari oleh kalangan remaja sebenarnya telah membawa dampak yang signifikan. Namun hingga saat ini, belum ada definisi yang tepat merujuk pada arti dari new media. Dennis McQuail (2000, dalam Ibrahim dan Akhmad 2014 : 117) telah mendefinisikan empat kategori utama dari “media baru”, yaitu :

  1. Media komunikasi interpersonal, seperti email.
  2. Media permainan interaktif, seperti game komputer.
  3. Media pencarian informasi, seperti mesin pencarian di Net.
  4. Media partisipatoris, seperti ruang chat di Net.

 

Seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi, konsep new media sebagai media partisipatoris menjadi lebih populer. Kemunculan komunitas maupun generasi baru di masyarakat tidak terlepas dari adanya konsep media partisipatoris tersebut. Produk new media sebagai media partisipatoris yang lebih dikenal dengan sosial media, menjadi aspek yang sangat digandrungi di masyarakat saat ini

Kemunculan media sosial tersebut menjadi sebuah fenomena yang menarik ketika disandingkan dengan pola interaksi remaja saat ini. Selain itu, kemunculan new media atau media baru tentunya berpotensi menciptakan perubahan sosial di masyarakat. Tidak terkecuali perubahan dalam aspek berkomunikasi. McQuail juga menyatakan ada beberapa hal yang akan dialami oleh si pengguna media baru apabila dibandingkan dengan konsumsi pada media konvensional sebelumnya, yaitu :

  1. Kehadiran sosial (social presence), perasaan berhubungan dengan orang lain ketika menggunakan medium ini.
  2. Otonomi (autonomy), perasaan memegang kendali atas medium ini.
  3. Aktivitas timbal-balik (interactivity) dengan sumber.
  4. Privasi (privacy), mengenai pengalaman ketika menggunakan medium ini.
  5. Kesenangan bermain (playfulness), dalam hubungan dengan kenikmatan yang diperoleh ketika menggunakan medium ini dibandingkan ketika sekadara mendapatkan sesuatu darinya.

Dari penjelasan McQuail diatas kita bisa melihat bahwa sebenarnya media baru telah memberikan fasilitas yang mampu memberikan ‘kenikmatan’ bagi penggunanya. Konsep mengenai new media atau media baru selama ini telah memberikan gambaran yang  nyata bahwa perkembangan teknologi telah memberikan dampak yang signifikan bagi perubahan sosial di masyarakat. Pengaruh yang ditimbulkan oleh media baru terhadap masyarakat, telah menghasil banyak diskusi dan penelitian dari para akademisi. Martin Lister (2009, dalam Ibrahim dan Akhmad, 2014 h.118) dalam New Media : a Critical Introduction mengajukan diskusi yang cemerlang mengenai media baru dan budaya visual ketika mereka membahas mengenai bagaimana teknologi baru sedang memengaruhi hal-hal, seperti :

  1. Pembentukan citra dan citra-citra sebagai teks.
  2. Penekanan pada efek dan pengalaman sensual di atas rekayasa narasi dan makna.
  3. Pengalaman-pengalaman baru sedang terbenam di dalam citra.

 

Selain pandangan positif, kemampuan new media dalam menciptakan ‘ruang baru’ bagi masyarakat, ternyata new media juga tidak terlepas dari pandangan negatif  beberapa kalangan. Berbagai pandangan kritis mengenai kemampuan media baru dalam menghasilkan perubahan juga menjadi pandangan yang menarik untuk kemudian dikaji. Russell Neuman dalam The Future of the Mass Audience memiliki pandangan mengenai perubahan yang disebabkan oleh media baru. Dia berpendapat bahwa :

  1. Media baru menjadi kurang mahal dan juga lebih banyak tersedia bagi khalayak.
  2. Teknologi baru mengubah pandangan khalayak tentang jarak geografis.
  3. Teknologi baru meningkatkan kecepatan komunikasi
  4. Teknologi baru meningkatkan volume komunikasi.
  5. Terdapat lebih banyak saluran komunikasi.
  6. Terdapat lebih banyak kontrol bagi pengguna.
  7. Terdapat peningkatan interaksi dan bentuk-bentuk komunikasi yang sebelumnya terpisah.

 

Pandangan dari Neumann diatas telah memberikan gambaran bahwa media baru muncul sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan dalam proses komunikasi yang bselama ini terjadi di masyarakat. Fasilitas yang disediakan seperti tidak terpisah jarak ruang dan waktu telah menjadikan media baru semacam primadona  di kalangan masyarakat. Terlebih lagi kemampuan media baru dalam menciptakan perubahan sosial akan menjadi pandangan tersendiri dalam tulisan ini.

New Media Memfasilitasi Perubahan Sosial

Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan sebelumnya bahwa new media mampu menciptakan sebuah perubahan sosial. Perubahan sosial dalam hal ini merupakan perubahan dalam konsep perilaku berkomunikasi (walaupun dalam beberapa aspek terdapat perubahan dalam hal interaksi dan pola pikir). Masyarakat yang telah mampu mengakses new media atau media baru tentunya masyarakat yang memiliki kepedulian dan telah terliterasi media. Perubahan yang terletak pada aspek sosial inilah yang kemudian menjadi tolok ukur sampai sejauh mana media baru memegang peranan penting.

 

 

Penggunaan media baru dan beberapa produknya yang kemudian kita sebut sebagai jejaring sosial telah memberikan warna tersendiri dan tentunya menjadi semacam alat baru dalam berkomunikasi.  Selain itu, pandangan masyarakat terhadap keberadaan media baru khususnya jejaring sosial merupakan sebuah bentuk dominasi baru dalam berinteraksi dan bersosialisasi. Konsep teks dan bahasa telah mulai bergeser pada bentuk simbol-simbol yang merepresentasikan makna dalam berkomunikasi tersebut. Pandangan masyarakat akan kemudahan berkomunikasi dan penyampaian pesan serta gagasan dalam ranah media baru membawa perubahan dalam berkomunikasi dan berinteraksi. ‘Kenikmatan’ inilah yang lambat laun akan menciptakan generasi baru dalam dunia teknologi komunikasi.

Bagian dari masyarakat yang cenderung menjadi “agent of change” (dikatakan cenderung karena belum ada kepastian mutlak) adalah remaja. Remaja menjadi pihak yang paling sering menggunakan media baru khususnya jejaring sosial. Dari remaja ini juga perubahan-perubahan sering terjadi di masyarakat. Perubahan dalam bahasa dan kosakata, perubahan dalam gaya hidup hingga pada tatarana perubahan dalam pola pikir dan konstruksi gagasan. Khususnya pada aspek gaya hidup atau lifestyle, perubahan paling sering terjadi dan mudah untuk diidentifikasikan. Aspek yang selama ini dipahami oleh masyarakat sebagai aspek yang ‘sakral’ dan memiliki muatan nilai dan norma sosial tinggi, tidak jarang ‘terdobrak’ dan bergeser maknanya oleh ‘ulah’ para remaja, yang ironisnya difasilitasi oleh media.

 

 

 

Kita bisa ambil contoh produk budaya berupa bahasa. Bahasa yang selama ini kita anggap sebagai alat penyampaian pesan dengan kosakata yang terstruktur, saat ini sudah mulai berubah dan bergeser artinya. Perubahan dan pergeseran makna dalam bahasa tersebut, bahasa gaul misalnya, tidak terlepas dari kiprah media. Media massa yang menyebarkan pengaruh dan trend budaya populer tersebut, ditambah dengan munculnya media baru yang bersifat lebih privat, maka perubahan-perubahan yang terjadi akan membawa perubahan sosial di masyarakat.

Remaja dan Budaya Populer

Kajian mengenai remaja dan budaya populer sebenarnya telah lama dilakukan oleh para akademisi. Remaja dan budaya populer bisa dikatakan merupakan komoditas dalam dunia industri. Remaja, sebagai pihak yang memiliki tingkat dinamis yang tinggi, terbuka akan perubahan dan hal-hal yang baru serta mudah untuk terkena pengaruh, merupakan ‘lahan’ bagi dunia industri untuk menjadikan mereka sebagai sasaran dalam menyebarkan konsep budaya populer. Dengan semakin gencarnya perkembangan teknologi media baru, semakin bertambahnya fasilitas yang ditawarkan maka generasi remaja baru akan terus bermunculan.

Fenomena ini tidak terlepas dari latar belakang budaya bangsa Indonesia yang memang masih sangat feodal. Asumsi mengenai ‘kebosanan’ terhadap struktur budaya yang kaku, dan pandangan mengenai budaya Barat yang jauh lebih dinamis dan lebih ‘keren’, membuat kemunculan budaya populer menjadi lebih cepat. Keunggulan budaya populer yang lebih ‘demokratis’, dalam artian semua orang yang ada di dalamnya dianggap ‘setara’ membuat budaya tersebut menjadi cepat berkembang dan lebih mudah diterima di masyarakat. Budaya tradisional bangsa Indonesia yang kaku, sarat dengan nilai dan moral, mulai banyak ditinggalkan.

Sebagaimana telah disinggung dalam bahasan sebelumnya bahwa budaya populer dianggap rendah oleh kaum elit, menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat. Penulis justru melihat budaya populer di masyarakat Indonesia jauh lebih bisa diterima di seluruh strata sosial. Kehadiran budaya populer di tengah masyarakat telah memberikan warna baru dalam berinteraksi. Namun, pandangan mengenai rendahnya budaya populer tidak menghilang begitu saja. Kelompok-kelompok sosial yang lebih berorientasi elitis memandang rendah terhadap budaya populer, menghina dan was-was, sementara banyak kelompok jelata yang bersikap mendua, sebagian bercita-cita untuk naik kelas sosial.dengan mengikuti perkembangan terbaru dalam dunia budaya populer, sementara kelompok lainnya tetap saja merasa grogi atau tersinggung oleh hiruk pikuk budaya populer. (Heryanto, 2015. h. 23). Penjelasan tersebut sebenarnya cukup membuktikan bahwa budaya populer berwatak politis.

Kemudian ketika dikorelasikan dengan konsep remaja saat ini, maka watak politis tersebut tidak terlalu tampak. Yang muncul ke permukaan justru adalah pengaruh dan hegemoni dari budaya populer tersebut. Remaja masa kini jauh lebih peduli terhadap kesenangan, euforia terhadap munculnya setiap produk dari budaya populer. Ketakutan akan teralienasi apabila tidak mengikuti arus budaya pop membuat tiap individu remaja menjadi ‘terbebani’ untuk selalu turut serta sebagai bagian dari perkembangan budaya populer. Para kaum muda dan generasi baru tersebut tidak ragu untuk menciptakan sebuah identitas sosial baru dan menegosiasikan ulang identitas tersebut di masyarakat. Pencarian kesenangan dan konsep privatisasi dalam menghasilkan identitas inilah yang cenderung terjadi dalam dunia maya. New media sebagai ‘aktor’ utama munculnya generasi baru membawa dampak yang signifikan terhadap pergeseran pola pandang dan interaksi sosial terhadap struktur dan pola masyarakat saat ini.

 

 Pembahasan

Pada dasarnya pembahasan mengenai media baru dan remaja merupakan pembahasan yang banyak menimbulkan perdebatan, khususnya pada aspek penggunaan media baru dan motif penggunaan tersebut. Hal itu cenderung disebabkan oleh pergeseran fungsi berkomunikasi dengan menggunakan internet atau new media. Pergeseran yang dimaksud disini adalah masyarakat, remaja khususnya, menggunakan new media tidak hanya sekedar untuk berkomunikasi, menyampaikan pesan, gagasan maupun ide. Tetapi terdapat sebuah konsep ‘kenikmatan’ yaitu memiliki dunia yang hanya dimiliki oleh dirinya sendiri. Konsep utopis yang selama ini membayangi benak kalangan remaja dapat terimplementasikan dengan menggunakan new media.

Teori CMC (Computer Mediated Communication) sebagai landasan dalam tulisan kali ini telah memberikan gambaran bagaimana sebenarnya masayarakat saat ini berkomunikasi dengan menggunakan media sosial. Teknologi komputerisasi telah merubah cara masyarakat masa kini dari yang semula konvensional telah berubah ke arah yang lebih modern. Hal ini juga tidak terlepas dari kehadiran media yang konvergen.

Pengguna situs jejaring sosial terutama kalangan remaja menjadi salah satu bukti bahwa media baru merupakan salah satu pihak yang turut serta menciptakan munculnya generasi baru, generasi yang disebut dengan generasi new media. Pencarian identitas dan jati diri atau ketakutan terhadap hilangnya pengakuan sebagai bagian dari masyarakat modern menyebabkan kalangan remaja berlomba-lomba untuk terus mengikuti sekaligus juag berperan sebagai ‘konsumen’ terhadap perkembangan teknologi komunikasi. Pada sisi lain, perubahan struktur sosial di masyarakat terus terjadi seiring dengan adanya budaya baru yang tidak jarang dipicu oleh perkembangan teknologi komunikasi tersebut.

Budaya baru yang juga disebut sebagai budaya populer tersebut menjadi salah satu tonggak yang bisa diidentifikasikan terhadap perubahan di masyarakat. Meningkatnya kebutuhan terhadap teknologi juga merupakan bagian dari budaya populer tersebut. Beberapa kalangan akademisi menyebut bahwa masyarakat yang berada pada ranah budaya populer disebut dengan masyarakat kelas menengah bawah. Hal ini disebabkan karena masyarakat yang berada kalangan elit enggan untuk menyebut mereka bagian dari sebuah konsep populer. Budaya populer disini memegang peranan penting sebagai aspek yang digemari oleh seluruh kalangan masyarakat. Kehadiran budaya populer dalam masyarakat menandakan bahwa terdapat suatu perubahan sosial dalam masyarakat tersebut.

Tidak jarang budaya populer menjadi sebuah bahan komoditas industrialisasi dengan kalangan remaja sebagai sasarannya. Hal ini dikarenakan remaja memiliki sifat yang dinamis dalam menerima suatu hal yang baru, dan tentunya dianggap menarik. Ketika sebuah fenomena sosial terjadi di masyarakat, dan itu hal yang baru, menarik, maka kecenderungan para remaja untuk mengikuti arus tersebut sangat besar. Konsep mengenai kehadiran produk teknologi komunikasi (yang dianggap sebagai ‘hal yang baru dan mengasyikan’) sebagai hal yang dianggap ‘sakral’ oleh kalangan remaja menjadi sebuah fenomena sosial yang menarik. Apabila kita lihat pada penjabaran sebelumnya mengenai dinamika kalangan remaja dalam perspektif budaya populer tentunya merupakan aspek yang menarik untuk dikaji. Kehadiran new media yang selama ini menjadi sebuah trend di kalangan remaja ternyata tidak bisa melepaskan diri dari anggapan adanya penekanan terhadap ideologi dan dominasi kaum penguasa dan aspek industrialisasi.

Trend ini sebenarnya telah menunjukkan eksistensinya kepada kita sebagai kaum akademisi. Proses perkembangan sebuah trend budaya populer di Indonesia cenderung dimulai dengan masuknya budaya Barat, yang selama ini memang dikenal menjadi kiblat kaum remaja di Indonesia. Ketika sebuah model budaya populer masuk, dianggap sebagai hal baru bagi remaja dan dapat merubah status ke arah yang lebih tinggi tentunya itu akan langsung ditanggapi oleh para remaja. Kesempatan untuk mendapatkan status sebagai bagian dari masyarakat modern tersebut yang membuat kalangan remaja seolah-olah menemukan dunia ‘utopia’ terhadap kehadiran media baru.

Menilik kembali mengenai sejarah dan kehadiran media baru di Indonesia, sejarah menggambarkan bahwa media baru menjadi populer sebenarnya dimulai pada era tahun 2000. Saat itu kehadiran media baru yang merubah ‘tatanan’ pola komunikasi masyarakat telah menghadirkan sejumlah fenomena menarik. Penulis menggambarkan fenomena tersebut sebagai pergeseran pola komunikasi dan mulai ‘runtuhnya’ dominasi teks dan bahasa. Mereka digantikan dengan hegemoni simbol-simbol new media yang mengartikan maksud-maksud tertentu. Berfokus pada produk media baru berupa jejaring sosial, kalangan remaja dihadapkan pada lingkungan media baru, yang didalamnya sarat dengan campur tangan media baru dalam merubah tatanan sosial dalam segala aspek. Dengan membawa misi dan menyajikan kepada kalangan remaja mengenai konsep ‘modern’ yaitu menikmati kehidupan dan kesenangan sehari-hari dengan berbasiskan pada komoditas modern dan teknologi komputerisasi, maka ‘kenikmatan’ tersebut yang menjadi godaan bagi remaja.

Aspek tersebut yang kemudian menjadi gambaran bagaimana sebenarnya pertentangan antara konsep budaya lama yang cenderung konvensional, sarat dengan nilai, norma dan ritual tertentu dengan kehadiran budaya populer yang mampu menghasilkan generasi baru. Saat ini kita bisa melihat bahwa generasi muda lebih tertarik dengan hal-hal baru, teknologi baru dan tentunya identitas sebagai pengguna teknologi baru tersebut. Apabila kita melihat kembali fenomena ke belakang, bahwa negara ini masih terikat erat dengan ‘luka lama’, beberapa contohnya adalah rezim Orde Baru dan peristiwa G 30 S/ PKI. Kalangan muda mungkin sudah tidak mengenal atau tertarik dengan beberapa peristiwa lama tersebut, yang memang hampir tidak terfasilitasi dalam dunia media baru. Konsep budaya lama, peristiwa masa lalu yang memang sudah seolah terputus dengan lahirnya generasi baru ini bisa dikatakan tidak relevan dengan misi yang diusung oleh budaya populer. Ketertarikan kaum remaja terhadap budaya tradisional juga bisa dikatakan hanya beberapa persen saja (tidak ada angka tepat yang mampu menentukannya). Hal ini tampak dari realitas yang selama ini bisa dilihat di masyarakat langsung.

Keberadaan media sosial yang merupakan produk media baru menjadi salah satu penyebab signifikan bergesernya pola pandang remaja terhadap budaya tradisional. Namun, tulisan ini tidak berada dalam tataran menentukan aspek positif atau negatif. Melainkan lebih kepada melihat bagaimana media baru sebagai trend di kalangan remaja dan juga mampu menciptakan generasi baru. Generasi baru dalam artian sebagai sebuah generasi yang bisa dikatakan modern dan mengkonsumsi teknologi media baru, tidak hanya sebagai sebuah alat untuk berkomunikasi melainkan juga sebagai sebuah perwujudan dari trend yang sedang terjadi saat ini. Tentunya semua hal tersebut tidak terlepas dari kehadiran budaya populer. Media sosial sebagi bukti dari konsep industrialisasi yang telah menjangkau wilayah privasi masyarakat dan juga pola pikir masyarakat, terutama kalangan remaja.

Kehadiran industri dalam ranah teknologi komunikasi memang telah membentuk basis tersendiri di masyarakat. Mereka tidak hanya berfungsi tranformatif saja, namun juga telah sampai pada tataran terbentuknya pola globalisasi di masyarakat. Melihat perkembangan teknologi komunikasi dan era globalisasi di kalangan remaja sebenarnya telah menghasilkan sebuah kesimpulan pada kita bagaimana generasi baru lahir. Penulis menyebut generasi baru tersebut sebagai generasi jaringan. Hal ini dikarenakan hampir setiap transaksi atau pertukaran informasi yang terjadi di media baru selalu dapat diketahui oleh anggota masyarakat lainnya. Kita bisa melihat bagaimana kalangan remaja memanfaatkan konsep jaringan ini. Media sosial sebagai salah satu alat untuk bertukar informasi telah menyediakan fasilitas jaringan tersebut.

 

Berdasarkan penjabaran diatas penulis telah menyebutkan beberapa jenis media sosial yang cenderung paling populer dimasyarakat. Media sosial tersebut semuanya memiliki fasilitas jaringan. Istilah populer untuk fasilitas tersebut adalah “Group”,  sebuah istilah yang beredar dikalangan remaja. Whatsapp salah satu contohnya, sebagai media sosial yang saat ini sedang populer, banyak dimanfaatkan untuk saling bertukar informasi. Fasilitas yang dimiliki whatsapp (disingkat wa) juga menyediakan fasilitas Group tersebut. Tidak hanya WA, Blackberry Messenger, Line juga merupakan media sosial yang menyediakan fasilitas Group tersebut. Yang dimaksud dengan fasilitas Group disini adalah kita bertindak sebagai admin kemudian mengundang beberapa orang terdekat untuk saling bertukar informasi, dimana informasi tersebut dapat diketahui oleh orang-orang yang kita undang tersebut.

Generasi jaringan telah menegaskan eksistensinya kepada kita bahwa budaya populer yang terafiliasi dalam bentuk teknologi komunikasi telah membawa kita pada sebuah perubahan sosial secara terkonsep. Perubahan yang disebabkan tidak hanya berada pada tataran penggunaan teknologi saja, melainkan sampai pada tataran pola pikir dan pergeseran penggunaan bahasa. Aspek pereeseran penggunaan bahasa ini bisa diambil contoh ketika dikaitkan dengan penggunaan bahasa di media sosial. Istilah “Jarkom” yaitu jaringan komunikasi, yang artinya adalah sebuah pesan yang disampaikan kepada orang-orang yang berada dalam sebuah Group media sosial. Kemudian istilah BM atau singkatan dari Broadcast Message, sama dengan istilah “jarkom” hanya BM terjadi pada Blackberry Messenger (BBM). Selain itu, kita juga mengenal istilah “PING!!” yaitu sebuah nada peringatan yang ada pada BBM, dengan tujuan agar si penerima pesan segera melihat pesan yang kita kirimkan.

 

Aspek lain yang juga dianggap sebagai bentuk pergeseran penggunaan bahasa adalah hadirnya media sosial Line dengan fasilitas berupa sticker. Sticker disini merupakan sebuah karakter tokoh dengan berbagai ekspresi dengan tujuan untuk menyampaikan pesan.

Dari penggambaran tersebut tampak bahwa penggunaan bahasa dan kata telah tergeser dengan kehadiran simbol dalam media sosial. Fenomena ini sekaligus menjelaskan pada kita bahwa budaya populer telah menghasilkan sebuah generasi baru, yang disebut dengan Generasi Jaringan. Generasi jaringan lebih populer terjadi kalangan remaja sebagai akibat dari penggunaan teknologi komunikasi new media atau media baru. Menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji sekaligus sebuah gambaran betapa kuatnya dominasi dari perkembangan teknologi komunikasi. Era globalisasi telah berjalan dan sebagai bagian dari masyarakat, kalangan remaja diharuskan mampu menggunakan produk teknologi dengan bijak, sehingga akan melahirkan sebuah teknologi yang tepat guna.

 

 

 

 

Penutup

Sesuai dengan penjabaran di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa media baru memiliki sebuah pengaruh yang kuat, ketika media baru menjadi sebuah trend, khususnya di kalangan remaja. Dengan fenomena-fenomena yang tampak di lapangan, dan sesuai dengan dasar dari teori CMC, maka pola komunikasi masyarakat saat ini sudah berbasis pada teknologi komputerisasi. Seiring dengan perkembangannya yang semakin pesat, keberadaan media baru seolah telah menjadi aspek penting dan berperan sebagai bagian dari masyarakat. Dengan keberadaan media baru pula, maka saat ini mulai muncul generasi baru yang dalam tulisan ini disebut dengan Generasi Jaringan.

Dengan hadirnya Generasi Jaringan sebagai generasi baru di masyarakat, maka perubahan sosial yang terjadi juga merujuk pada konsep interaksi yang dilakukan. Masyarakat juga akan semakin memandang bahwa mereka tidak bisa apatis dalam menyikapi kehadiran teknologi baru. Namun, masyarakat juga tidak direkomendasikan untuk terlalu ‘mendewakan’ teknologi baru tersebut, melainkan menggunakan, memanfaatkan, sebuah teknologi demi keberlangsungan kehidupan yang lebih layak.

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ardiyanto, Elvinaro. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.

Biagi. Shirley. 2010. Media/ Impact. Pengantar Media Massa. Penerjemah : Muhammad Irfan. Jakarta. Salemba Humanika.

Heryanto, Ariel. 2015. Identitas dan Kenikmatan. Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia.

Ibrahim, Idi Subandy, Bachruddin Ali Akhmad. 2014. Komunikasi dan Komodifikasi. Mengkaji Media dan Budaya dalam Dinamika Globalisasi. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung. Remaja Rosdakarya.

 

 

 
Comments Off on Trend Media Sosial di Kalangan Remaja dalam Perspektif Budaya Populer (disampaikan dalam Konferensi COMICOS di Universitas Atmajaya)

Posted in Uncategorized

 

JOKOWI, DARI KURSI DKI-1 MENUJU RI-1 : Sudah Tepatkah?

18 Mar

Teka-teki itu akhirnya terjawab sudah. Tepat pada tanggal 14 Maret 2014 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menetapkan Gubernur DKI Jakarta tersebut menjadi calon presiden untuk periode 2014-2019. Fenomena tersebut sebenarnya sudah banyak diprediksi oleh beberapa kalangan. Bahkan jauh sebelumnya, ketika Jokowi memenangkan pemilihan gubernur DKI Jakarta dengan suara yang cukup jauh dari pesaingnya waktu itu, Fauzi Bowo, sudah mulai bermunculan suara-suara untuk mengusung Jokowi  maju sebagai calon presiden.

Harapan mulai disematkan, rasa optimisme akan perubahan mulai bermunculan. Namun perlu diperhatikan lagi, Jokowi belum genap 2 tahun memimpin Jakarta sebagai gubernur. Masih banyak pekerjaan yang belum terselesaikan. Warga Jakarta masih banyak yang belum tersentuh program yang dibentuk oleh pasangan Jokowi-Basuki ini. Sehingga pertanyaan pun muncul “Sudah tepatkah pencapresan Jokowi pada Pemilu 2014 ini?”. Pandangan positif memang bermunculan, namun pandangan negatif juga tidak bisa dipandang remeh. Sentimen negatif terhadap pencapresan ini bisa dianggap sebagai hal yang  wajar mengingat status Jokowi sebagai gubernur DKI yang masih memiliki ‘pekerjaan rumah’ banyak yang belum terselesaikan, sudah dihadapkan kepada permasalahan negara yang jauh lebih kompleks tentunya.

Terlepas dari keraguan yang muncul di masyarakat, tidak bisa dilupakan juga bahwa media massa juga memiliki peran yang tidak kalah penting. Sejak Jokowi muncul ke ranah politik dan keberhasilannya merebut kursi DKI-1, pencitraan yang dilakukan oleh media massa begitu gencar. Program pemerintahan yang disusun oleh Jokowi dan Ahok dikemas oleh media massa sedemikian rupa, sehingga terbentuk sebuah citra di masyarakat. Memang apa yang dilakukan oleh Jokowi selama memerintah Jakarta tidak bisa dikatakan buruk. Beberapa program seperti relokasi pasar Tanah Abang sebagai antisipasi kemacetan, kemudian pengerukan waduk Ria-Rio sebagai antisipasi banjir (walaupun dalam kenyataannya banjir masih melanda ibukota), dan beberapa program kemasyarakatan lain, seolah telah membuka harapan baru bagi warga ibukota. Semua program tersebut berpotensi positif untuk mengubah wajah Jakarta, dan bisa dikatakan sebagai program yang cukup bagus untuk bisa diimplementasikan di masyarakat.

Beberapa pemberitaan program pemerintahan Jokowi tersebut masih ditambah dengan sifat Jokowi yang dikenal dekat dengan masyarakat karena memang Jokowi suka blusukan untuk bisa melihat lebih dekat dengan masyarakat. Pencitraan yang dilakukan oleh media massa ini secara tidak langsung telah meningkatkan citra seorang Joko Widodo sebagai gubernur DKI. Peran media massa inilah yang dianggap sebagai salah satu keberhasilan Jokowi memperoleh citra dan reputasi positif di masyarakat, sehingga beberapa lembaga survey dan media massa menempatkan Jokowi diurutan teratas untuk bisa meraih kursi RI-1. Asumsi yang bermunculan pun tidak bisa disalahkan bahwa ada sebuah kampanye yang sengaja dirancang untuk mengusung Jokowi dan tentunya tidak bisa dilepaskan dari peran partai politik yang mengusungnya. Menurut Dennis McQuail, suatu kampanye kemungkinan berhasil jika ada kondisi tertentu yang mendukung pada situasi audience, pesan (message) dan sumber (source). (Subiakto, 2012 : 101). Menilik dari pandangan McQuail tersebut, bisa kita lihat adanya keterkaitan antara pencitraan Jokowi di masyarakat dengan kemunculan nama Jokowi dalam bursa calon presiden 2014.

Kondisi masyarakat saat ini yang membutuhkan sosok pemimpin yang dekat dan humanis menjadi sebuah kesempatan untuk mendapatkan peluang di bidang politik. Dengan gaya bicara yang apa adanya, suka blusukan dan tidak terlalu suka beretorika, membuat Jokowi seolah mendapat tempat tersendiri di masyarakat. Namun, apakah anggapan tersebut benar? Bagaimana dengan anggapan dari masyarakat Jakarta sendiri yang ‘bersentuhan’ langsung dengan “sepak terjang” sang gubernur?

Wacana tersebut berpotensi memunculkan beberapa pertanyaan baru lagi. Apakah pencapresan Jokowi ini sudah tepat? Bukankah masih terlalu prematur untuk bisa bertarung di level tertinggi percaturan politik, yaitu kursi kepresidenan? Pada pembahasan sebelumnya saya sempat menyinggung mengenai partai pengusung Jokowi yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Sebagai salah satu prtai besar di Indonesia tentunya perhitungan yang dilakukan untuk mengusung Jokowi sudah matang. Namun, pemberitaan media massa akhir-akhir ini, mengenai statement Prabowo Subianto mengenai pelanggaran Perjanjian Batutulis antara dirinya dengan Megawati Sukarnoputri, semakin memanaskan “arena” politik ini. Prabowo menganggap, dengan pencalonan Jokowi sebagai capres dari PDI-P, maka telah terjadi pelanggaran dalam perjanjian tersebut, dimana dalam salah satu poin disebutkan bahwa Megawati dan PDI-P akan mendukung Prabowo sebagai calon presiden pada pemilu 2014.

Konflik antara Prabowo dengan Megawati ini menjadi semacam indikasi kuat bahwa munculnya nama Jokowi sebagai calon presiden dari PDI-P sudah disiapkan sejak lama. Media massa pun seolah mendapat “santapan” segar dengan adanya fenomena konflik ini. Prabowo yang merasa “dikhianati” tentunya merasa kecewa dengan pencalonan Jokowi. Perjanjian Batu Tulis yang ditandatangani pada tahun 2009 pun akhirnya hanya sebatas tulisan dan wacana saja tanpa ada implementasi lebih lanjut. Kubu PDI-P pun menyanggah telah melanggar perjanjian tersebut, melalui sekretaris jenderal PDI-P, Tjahjo Kumolo, mengatakan bahwa perjanjian tersebut otomatis gugur dengan sendirinya karena pasangan Megawati-Prabowo gagal menjadi presiden dan wakil presiden pada pemilu 2014 lalu, walaupun terdapat statement yang menyatakan Megawati mendukung Prabowo menjadi calon presiden pada tahun 2014.

Menanggapi fenomena semacam ini maka kita perlu melihat dengan bijaksana bagaimana kira-kira kiprah Jokowi selanjutnya sebagai calon presiden 2014. Sudah tepatkah pencalonan ini?

 

 
Comments Off on JOKOWI, DARI KURSI DKI-1 MENUJU RI-1 : Sudah Tepatkah?

Posted in Uncategorized

 

SEMIOTIK : Simbol, Tanda, dan Konstruksi Makna

14 Mar
  1.     Pengantar : Apa itu Semiotik?

 

Perkembangan pola pikir manusia merupakan sebuah bentuk perkembangan yang mendasari terbentuknya suatu pemahaman yang merujuk pada terbentuknya sebuah makna. Apabila kita amati, kehidupan kita saat ini tidak pernah terlepas dari makna, persepsi, atau pemahaman terhadap apapun yang kita lihat. Sekarang kita lihat benda-benda yang ada di sekeliling kita. Sering sekali kita tanpa memikirkan bentuk dan wujud benda tersebut kita sudah bisa mengetahui apa nama dari benda itu. Ketika kita mengendarai sepeda motor atau mobil di jalan raya, maka kita bisa memaknai setiap bentuk tanda lalu lintas yang bertebaran di jalan raya, seperti traffic light misalnya, atau tanda “Dilarang Parkir” dan lain sebagainya. Pernahkah terlintas dalam benak kita sebuah pertanyaan “mengapa tanda ini dimaknai begini? Mengapa simbol itu dimaknai sedemikian rupa”. Kajian keilmuan yang meneliti mengenai simbol atau tanda dan konstruksi makna yang terkandung dalam tanda tersebut dinamakan dengan Semiotik.

Semiotik menjadi salah satu kajian yang bahkan menjadi tradisi dalam teori komunikasi. Tradisi semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri. (Littlejohn, 2009 : 53). Semiotik bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui bagaimana komunikator mengkonstruksi pesan. Konsep pemaknaan ini tidak terlepas dari perspektif atau nilai-nilai ideologis tertentu serta konsep kultural yang menjadi ranah pemikiran masyarakat di mana simbol tersebut diciptakan. Kode kultural yang menjadi salah satu faktor konstruksi makna dalam sebuah simbol menjadi aspek yang penting untuk mengetahui konstruksi pesan dalam tanda tersebut. Konstruksi makna yang terbentuk inilah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya ideologi dalam sebuah tanda. Sebagai salah satu kajian pemikiran dalam cultural studies, semiotik tentunya melihat bagaimana budaya menjadi landasan pemikiran dari pembentukan makna dalam suatu tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. (Kriyantono, 2007 : 261).

 

 

2. Tokoh-tokoh dalam Kajian Semiotik

 

Ketika kita berbicara mengenai sebuah kajian ilmu atau sebuah teori, maka tidak bisa terlepas dari tokoh-tokoh yang mencetuskan kajian tersebut. Semiotik tentunya memiliki tokoh-tokoh yang menjadi pemikir terbentuknya sebuah tradisi semiotik itu sendiri, tokoh-tokoh dalam kajian semiotik adalah :

Ferdinand de Saussure :

Saussure menjadi salah satu tokoh yang berkecimbung dalam kajian semiotik. Tokoh yang terkenal dengan konsep semiotik Signifier (Penanda) dan signified (petanda) ini telah menjadi memperkenalkan konsep kajian semiotik yang memberikan sumbangsih terbesar bagi kajian keilmuan.

 

 

 

Roland Barthes :

Tokoh yang selanjutnya adalah Roland Barthes. Barthes menjadi tokoh yang begitu identik dengan kajian semiotik. Pemikiran semiotik Barthes bisa dikatakan paling banyak digunakan dalam penelitian. Konsep pemikiran Barthes terhadap semiotik terkenal dengan konsep mythologies atau mitos. Sebagai penerus dari pemikiran Saussure, Roland Barthes menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. (Kriyantono, 2007 : 268). Konsep pemikiran Barthes yang operasional ini dikenal dengan Tatanan Pertandaan (Order of  Signification). Secara sederhana, kajian semiotik Barthes bisa dijabarkan sebagai berikut :

 

Denotasi

Denotasi merupakan makna sesungguhnya, atau sebuah fenomena yang tampak dengan panca indera, atau bisa juga disebut deskripsi dasar. Contohnya adalah Coca-Cola merupakan minuman soda yang diproduksi oleh PT. Coca-Cola Company, dengan warna kecoklatan dan kaleng berwarna merah.

 

Konotasi

Konotasi merupakan makna-makna kultural yang muncul atau bisa juga disebut makna yang muncul karena adanya konstruksi budaya sehingga ada sebuah pergeseran, tetapi tetap melekat pada simbol atau tanda tersebut. Contoh adalah Coca-Cola merupakan minuman yang identik dengan budaya modern, di mana Coca-Cola menjadi salah satu produk modern dan cenderung kapitalis. Dengan mengkonsumsi Coca-Cola, seorang individu akan tampak modern dan bisa dikatakan memiliki pemikiran budaya populer.

 

Dua aspek kajian dari Barthes di atas merupakan kajian utama dalam meneliti mengenai semiotik. Kemudian Barthes juga menyertakan aspek mitos, yaitu di mana ketika aspek konotasi menjadi pemikiran populer di masyarakat, maka mitos telah terbentuk terhadap tanda tersebut. Pemikiran Barthes inilah yang dianggap paling operasional sehingga sering digunakan dalam penelitian.

 

Charles Sanders Pierce :

 

Analisis semiotik Pierce terdiri dari tiga aspek penting sehingga sering disebut dengan segitiga makna atau triangle of meaning (Littlejohn, 1998). Tiga aspek tersebut adalah :

  1. Tanda

Dalam kajian semiotik, tanda merupakan konsep utama yang dijadikan sebagai bahan analisis di mana di dalam tanda terdapat makna sebagai bentuk interpretasi pesan yang dimaksud. Secara sederhana, tanda cenderung berbentuk visual atau fisik yang ditangkap oleh manusia.

2.   Acuan tanda atau objek

Objek merupakan konteks sosial yang dalam implementasinya dijadikan sebagai aspek pemaknaan atau yang dirujuk oleh tanda tersebut.

3.   Pengguna Tanda (interpretant)

Konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. (Kriyantono, 2007 : 263).

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Barthes, Roland. 1972. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa. Jakarta: Jalasutra

 

Fiske, John. Cultural and Communication Studies Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Bandung : Jalasutra

 

Kriyantono, Rachmat. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana

 

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung. Remaja Rosdakarya.

 

Littlejohn, Stephen W,  2009 .  Teori Komunikasi Theories of Human Communication edisi 9. Jakarta. Salemba Humanika.

 

 
Comments Off on SEMIOTIK : Simbol, Tanda, dan Konstruksi Makna

Posted in Uncategorized

 

KEPEMILIKAN MEDIA MASSA SEBAGAI KENDARAAN POLITIK MENUJU PEMILU 2014

14 Mar

Media massa sebagai salah satu bagian yang tidak terpisahkan di masyarakat telah memberikan pengaruh yang begitu signifikan di masyarakat. Berbagai bentuk tayangan di media massa mampu menampilkan realita sosial di masyarakat. Masyarakat begitu mudah percaya dengan apa yang ditampilkan di media massa. Media massa yang telah mengalami perkembangan begitu pesat juga mampu membentuk opini public melalui tayangan yang disajikannya, seperti berita misalnya. Televisi sebagai salah satu media massa yang paling besar memberikan pengaruh merupakan media yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat.

Televisi di era reformasi saat ini tidak hanya berfungsi sebagai media penyampai pesan saja, tetapi juga berfungsi sebagai penarik minat massa untuk meraup dukungan dalam segala hal. Sebagai media komunikasi massa yang penuh dengan tayangan-tayangan audio visual, bukan tidak mungkin televise menjadi pusat perhatian. Mengapa orang memperhatikan media massa? Satu kemungkinan jawabannya ialah karena mereka berusaha menambah khazanah pengetahuan (informasi) dan atau memperoleh bimbingan (opini). (Nimmo, 2000 : 172).

 

Letak kekuatan media massa, televisi khususnya, yaitu memiliki konsep audio visual yang mampu menampilkan realita sosial di masyarakat. Kedekatan fenomena yang ditampilkan oleh masyarakat inilah yang menjadikan televisi sebagai penyebar informasi dengan fungsi persuasi yang paling besar. Beberapa kalangan yang memiliki kekuasaan akan menjadikan media massa sebagai alat untuk mendapatkan dukungan di ranah perpolitikan. Sebagaimana telah diketahui bahwa di era reformasi saat ini, kepemilikan media merupakan salah satu cara untuk mendapatkan kekuasaan, karena media massa merupakan alat yang utama dalam membentuk opini public.

Kekuatan Hegemoni Media : Cara Baru mendapatkan Dukungan Massa

Pemilik media massa sebenarnya memiliki kemampuan untuk bisa bersaing di kancah perpolitikan di Indonesia. Kita tahu bahwa di Indonesia ada beberapa stasiun televisi yang pemiliknya berkecimpung di dunia politik. Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh, di mana Surya Paloh saat ini berposisi sebagai ketua umum Partai Nasional Demokrat (NasDem), dan TVOne yang dimiliki oleh keluarga Bakrie, di mana Aburizal Bakrie juga sebagai ketua umum Partai Golongan Karya, merupakan dua stasiun televise berita terbesar di Indonesia. Tayangan berita yang disajikan oleh dua stasiun televise tersebut mampu mempengaruhi pola pikir masyarakat.

Kebutuhan masyarakat akan informasi yang begitu besar membuat media massa dengan leluasa menyampaikan informasi. Ironisnya, berita yang ditayangkan oleh media massa seringkali diragukan keabsahannya, dan masyarakat menerima begitu saja apa yang disampaikan oleh media massa tanpa adanya filter terlebih  dahulu. Peluang inilah yang kemudian dijadikan sarana oleh pemiliki media yang berkecimpung di ranah politik untuk melakukan kampanye terselubung. Masih ingat di benak kita ketika Pemilu tahun 2004, media massa begitu gencar memberitakan siapa saja yang jadi calon Presiden dan Wakil Presiden, serta apa saja yang menjadi visi dan misi mereka.

Politik pencitraan yang dilakukan oleh beberapa calon Presiden dan Wakil Presiden melalui media massa ternyata begitu efektif untuk mendapatkan dukungan suara dari rakyat. Terbukti dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2004-2009. Pada pemilu 2009 pun politik pencitraan terbukti efektif untuk dilakukan lagi, dan SBY terpilih untuk periode kedua yaitu 2009-2014. Ringkasnya, televisi tetap digunakan secara luas sebagai saluran komunikasi kampanye. (Nimmo, 2000 : 199).

Fenomena tersebut tidak terlepas dari hegemoni yang dilakukan oleh media massa. Tayangan media yang disajikan secara terus menerus telah mampu mengkonstruksi pola pikir masyarakat terhadap setiap fenomena yang terjadi. Stigma yang terbentuk di masyarakat terhadap pemberitaan yang dilakukan oleh media massa adalah stigma positif. Sehingga, masyarakat percaya begitu saja apa yang dikatakan oleh media massa. Walaupun saat ini masyarakat sudah mulai memiliki pemikiran yang cerdas dan pengaruh yang diberikan oleh media mulai menurun, tetapi hegemoni tersebut tidak serta merta hilang begitu saja. Aspek inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan bagi pemilik media untuk melakukan kampanye menuju Pemilu 2014. Kita bisa mengetahui bagaimana saat ini Partai Nasional Demokrat sedang gencar membangun citra melalui tayangan iklan di televisi. Trans Corp. yang dipimpin oleh Chaerul Tanjung dan MNCTV Group (RCTI, Global TV, dan MNCTV) yang dimiliki oleh Hari Tanoesudibyo, sudah ikut pula bergabung dengan partai NasDem.

Media massa memang memiliki kekuatan untuk membentuk opini public. Teori Agenda Setting merupakan sebuah teori yang masuk kategori Applied Theory, sehingga bisa kita lihat dari apa yang terjadi di media massa saat ini. Kekuasaan media dalam menentukan agenda masyarakat bergantung pada hubungan mereka dengan pusat kekuasaan. (Littlejohn, 2009 : 418). Kekuasaan inilah yang menjadi tujuan dari para pemilik media. Televisi seperti TVOne misalnya, begitu sering menyajikan berita-berita yang notebene lebih menunjukkan citra sang pemilik.

Aburizal Bakrie yang tengah bersiap maju untuk RI-1 membangun citranya melalui tayangan-tayangan berita di TVOne dan ANTV (dua-duanya milik keluarga Bakrie). Masyarakat sebagai target menjadi tujuan utama dari pembangunan citra tersebut dengan harapan akan memilih Bakrie pada pemilu 2014 nanti. Media dengan semua sumber daya dan kekuatan yang ada, tidak terkecuali, lebih sering mengukuhkan atau membuat kepercayaan, sikap, nilai dan opini khalayak menjadi kuat. (Ardiyanto, 2007 : 20). Dengan adanya hegemoni dari media, pengukuhan terhadap seorang individu yang berimplikasi pada opini khalayak, maka media massa mampu merubah pola pikir seseorang terhadap seorang individu.

Politik Pencitraan melalui Media Massa

Berkaca dari keberhasilan Presiden SBY membangun citranya melalui media massa, beberapa tokoh yang akan maju dalam pemilu 2014 sebagai calon presiden mulai mempersiapkan strategi jitu untuk menarik simpati masyarakat. Tidak hanya dengan menjabarkan program-program dan visi misi mereka, berbagai kegiatan yang ‘digambarkan’ dekat dengan rakyat pun menjadi tayangan utama di media massa milik mereka. Ungkapan “Pemilik Media adalah Penguasa Dunia” memang benar adanya. Sebab, media massa mampu membentuk opini public, media massa merupakan sumber informasi di dunia, sehingga tidak sulit bagi para pemilik media untuk meraup suara yang signifikan pada pemilu nanti.

Politik pencitraan menjadi sebuah konsep yang unik di mana sebenarnya pencitraan telah lama digunakan dalam setiap kampanye. Tetapi, kalimat politik pencitraan baru menjadi sebuah trend ketika Presiden SBY sukses menjadi presiden Indonesia dua periode berturut-turut. Lawan politik SBY mulai mempelajari bagaimana cara untuk menarik simpati rakyat melalui media massa. Hal inilah yang kemudian menjadi ‘formula’ yang digunakan untuk mengalahkan kesuksesan Partai Demokrat (partai yang dipimpin oleh SBY) di pemilu 2014 nanti. Partai Demokrat yang tidak memiliki link dengan media massa menjadi sasaran ‘empuk’ ketika mengalami kasus korupsi wisma atlet yang melibatkan ketua umum mereka yaitu Anas Urbaningrum. Sebagaimana telah diketahui bahwa beberapa pemilik media massa terbesar di Indonesia merupakan lawan politik SBY sekaligus Demokrat.

Ketika kasus tersebut mencuat, media massa berlomba-lomba untuk memberitakannya dengan gencar. Tentunya, dibalik pemberitaan itu ada maksud tersembunyi yaitu selain ‘menggembosi’ kekuatan Demokrat, mereka juga menggunakannya untuk menarik simpati rakyat dengan memunculkan sebuah opini public yaitu partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu 2009 adalah sarang koruptor. Begitu kuatnya pengaruh yang diberikan oleh media massa telah membuat masyarakat terhegemoni dengan pemberitaan-pemberitaan yang ditayangkannya. Berangkat dari terbentuknya opini public mengenai pemberitaan kasus tersebut, lawan politik Demokrat mulai bermunculan di media. Propaganda melalui media dengan mensosialisasikan bentuk-bentuk solusi terhadap permasalahan yang melanda negara Indonesia mulai dilakukan oleh partai-partai pemilik media. Hal tersebut sekaligus juga sebagai kampanye terselubung bagi mereka.

Pembentukan citra inilah yang menjadi tujuan utama menuju 2014. Dengan citra yang sudah terbentuk sedemikian rupa, maka bukan hal yang mustahil seorang pemilik media bisa sukses di ranah politik, dibandingkan dengan politikus murni yang sudah lama berkecimpung di dunia politik. Konsep pemahaman masyarakat terhadap pemberitaan media yang ‘naif’ merupakan peluang besar untuk melakukan orasi dan pembentukan citra terhadap publik. Korelasi antara media massa dengan dunia politik sebenarnya telah berlangsung lama, dan tidak hanya di Indonesia. Amerika Serikat pernah mengalami hal yang serupa di mana tokoh-tokoh politik pernah menggunakan media massa untuk mendapatkan kursi kekuasaan, di mana pelopornya adalah John F. Kennedy. John F. Kennedy menjadi presiden televisi pertama di Amerika. Kemunculan Kennedy di televisi memang untuk pertama kali, tetapi ia telah mengetahui bagaimana menggunakan televisi. (Biagi, 2010 : 215).

Orator-Orator Ulung di Era Media Massa Modern : Media Massa sebagai ‘Kendaraan’ Politik

Orator merupakan seseorang yang melakukan kegiatan orasi dalam rangka mendapatkan dukungan masyarakat. Konsep mengenai orasi dan kemampuan melakukan retorika telah ada sejak zaman Yunani kuno dan telah menjadi semacam ‘keharusan’ ketika berada dalam ranah politik. Aristoteles yang terkenal dengan teori retorika telah memberikan semacam kajian yang menarik mengenai konsep retorika. Awal kemunculan pemikiran mengenai retorika sebenarnya merupakan bentuk pemahaman mengenai seni dalam mengolah kata-kata. Asal retorika di zaman klasik, dari abad ke-5 sampai abad ke-1 sebelum masehi, didominasi oleh usaha-usaha untuk mendefinisikan dan menyusun peraturan dari seni retorika. (Littlejohn, 2009 : 74).

Menurut Aristoteles, konsep retorika merupakan konsep yang harus dipahami oleh sang orator. Konsep ini meliputi ethos, pathos dan logos di mana ethos merujuk pada karakter, intelegensi, yang dipersepsikan dari pembicara. Pathos merujuk pada pendengar atau khalayak yang mendengar orasi tersebut dan logos adalah isi dari apa yang dibicarakan oleh orator tersebut. Jadi, seorang orator harus memiliki kecerdasan dalam mengolah kata-kata dan paham betul tipe khalayak yang dijadikan sasaran dari apa yang dikatakannya tersebut.

Banyak kalangan yang menggunakan konsep tersebut ketika tampil di layar kaca. Orator ulung mulai bermunculan untuk membentuk citra yang mampu membius masyarakat. Tayangan yang paling banyak menyajikan bentuk-bentuk retorika adalah debat calon presiden. Para pengamat menyatakan kemenangan presiden Kennedy pada tahun 1960 sebagian dikarenakan keberhasilannya dalam debat presiden di televisi dengan Richard Nixon. (Biagi, 2010 : 215). Dari peristiwa di Amerika tersebut kita bisa melihat bagaimana kemudian cara tersebut diadaptasi di Indonesia. Orator-orator ulung mulai ‘bekerja’ merangkai kalimat-kalimat yang begitu persuasive, menyajikan visi dan misi, menyatakan sebuah solusi dan membentuk citra di hadapan public.

Dengan memandang fenomena seperti itu, tidak salah apabila kemudian kita bisa membuat sebuah pandangan bahwa pemilik media merupakan pihak yang memiliki peluang paling besar untuk meraup keuntungan di dunia politik. Kemunculan Partai Nasional Demokrat yang dipimpin oleh Surya Paloh merupakan sebuah ‘ancaman’ tersendiri bagi Partai Demokrat yang notabene tidak memiliki media massa. Sebagaimana diketahui saat ini Surya Paloh, sang pemilik MetroTV telah merangkul pemilik media massa lain seperti Trans Corp (dipimpin Chaerul Tanjung) serta MNCTV Group (dipimpin oleh Hari Tanoesudibjo). Belum lagi Aburizal Bakrie yang akan maju dalam Pilpres pada 2014 mendatang dengan Partai Golongan Karya. Bakrie memiliki TVOne dan ANTV. Jadi, bukan perkara sulit bagi mereka untuk membentuk citra di hadapan publik. Pembentukan opini public melalui orasi-orasi yang dilancarkan oleh mereka menjadi semacam teknik jitu dalam mempersiapkan diri untuk bertarung di 2014.

Melalui berita yang ditayangkan di televisi inilah, pemilik media menyajikan sebuah realitas mengenai kondisi negara yang kacau, bencana dan berbagai permasalahan lainnya yang ‘digambarkan’ tidak bisa diatasi oleh ‘partai pemerintah.’. Berita bukan merupakan ‘jendela dunia’ yang tanpa perantara, melainkan suatu representasi hasil seleksi dan konstruksian yang membentuk ‘realitas’. (Barker, 2008 : 276). Pendapat Chris Barker di atas bisa kita anggap sebagai sebuah konstruksi realitas sosial yang kemudian dipolitisasi oleh media massa partai tertentu. Televisi adalah sebuah media yang setiap menitnya menyajikan berbagai fenomena di hadapan manusia, baik fenomena itu berbentuk kenyataan, informative, maupun kebohongan massal, masyarakat tetap mengkonsumsi televisi untuk mendapatkan informasi. Televisi terkadang ‘menjauhkan’ manusia dalam interaksinya sebagai makhluk sosial. Di saat manusia tak mampu lagi bersahabat dengan masyarakatnya, televisi justru mampu menjadi medium yang paling tepat untuk membentuk opini dan membangkitkan sentiment masyarakat. (Bungin, 2008 : 61).

Sebagai media pembentuk opini yang paling besar, televisi sebenarnya selalu menghadirkan bentuk-bentuk konstruksi realitas yang terkadang jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Hal ini tidak jarang digunakan oleh kalangan-kalangan tertentu untuk kepentingan politis. Konstruksi realitas kadang mampu menghadirkan dunia kesadaran jauh sebelum manusia memahamai eksistensi materi dari apa yang disadari itu sendiri. (Bungin, 2008 : 69). Berangkat dari pemahaman tersebut, maka media massa berusaha untuk melakukan penggambaran-penggambaran yang membentuk sebuah pandangan manusia terhadap dunianya. Pada era reformasi ini, ketika seseorang mampu membentuk partai politik sendiri, dan memiliki media massa sebagai ‘corong’ untuk melakukan propaganda, maka bukanlah sebuah hal yang aneh ketika sebentuk kekuasaan itu menjadi tujuan akhir dari apa yang direncanakan selama ini.

 

Media Massa dan Agenda Setting : Strategi Mumpuni dalam Meraup Suara dan Dukungan Rakyat

Pembentukan opini public di masyarakat yang dilakukan oleh media merupakan salah satu efek yang ditimbulkan ketika media massa melakukan sebuah pemberitaan dan konstruksi sosial. Dalam ranah ilmu komunikasi, teori Agenda Setting merupakan teori yang khusus mengkaji bagaimana media massa membentuk opini public dari pemberitaan yang dilakukannya. Melalui opini public yang sudah terbentuk itulah beberapa pihak yang memiliki kepentingan politik menggunakannya untuk mendapat dukungan, dengan tujuan meraup suara sebanyak-banyaknya di pemilu 2014 nanti.

 

Konsep ‘tebar pesona’ melalui media massa seperti televisi saat ini menjadi sebuah konsep alternative yang cukup jitu untuk meraup suara. Strategi ini juga merupakan kelanjutan dari strategi pembentukan opini public yang dilakukan oleh media massa. McComb dan Shaw, peneliti yang mengkaji mengenai teori Agenda Setting yang dicetuskan oleh Walter Lippman, menganggap bahwa pada dasarnya masyarakat bukanlah ‘mesin otomatis’ yang menunggu di program oleh media massa. Masyarakat memiliki kemampuan untuk memilih tayangan mana yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dalam ranah politik, ketika seorang kandidat mulai melakukan kampanye melalui media massa, masyarakat tidak serta merta terpengaruh kemudia memberika suara kepadanya.

Pemikiran McComb dan Shaw inilah yang kemudian menghasilkan sebuah teori baru yaitu Uses and Gratification, di mana sebenarnya masyarakat memiliki kekuasaan terhadap media untuk memenuhi kebutuhan informasinya, dan media memiliki ‘kewajiban’ untuk memenuhinya. Terlepas dari dua teori di atas, kondisi masyarakat Indonesia yang masih memiliki ketergantungan begitu besar kepada media menyebabkan masyarakat Indonesia begitu mudah terpengaruh oleh politik media tersebut.

Kemampuan media massa dalam membentuk opini publik inilah yang menjadikan masyarakat seolah mudah terpengaruh. Menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi beberapa pihak yang berkepentingan ketika media massa mampu menghadirkan ‘pencerahan’ di tengah-tengah masyarakat. Orator ulung, solusi terhadap permasalahan yang ada di tengah masyarakat, dan berbagai janji-janji mulai ‘dipersembahkan’ ke rakyat, melalui media massa tentunya. Semua itu dilakukan untuk membentuk citra dan tujuan akhirnya adalah masyarakat mendukungnya untuk menjadi presiden, dan partainya menjadi pemenang di Pemilu 2014 nanti.

Media massa di era reformasi saat ini sudah dapat dikatakan mulai kehilangan tingkat obyektifitasnya. Apalagi ketika media massa sudah mulai menyentuh ranah politik (dalam artian pemilik media tersebut sudah mulai berkecimpung di ranah politik), maka tidak menutup kemungkinan tayangan-tayangan yang disajikannya bertujuan untuk menggiring opini masyarakat ke arah pembentukan citra, dengan tujuan akhirnya adalah mendukung di Pemilu 2014 nanti. Pemilik media yang mulai tampil di layar kaca, melakukan personal branding dan lain sebagainya, pada dasarnya merupakan sebuah strategi politik untuk kemenangan di Pemilihan Umum 2014 nanti.

Ketika media massa dijadikan kendaraan politik maka masyarakat yang akan berada pada pihak subordinat. Masyarakat akan ‘dipaksa’ menyaksikan tayangan-tayangan yang berisikan kampanye terselubung, baik dalam bentuk berita maupun tayangan iklan-iklan yang membentuk citra dari pemiliki media tersebut. Konstruksi media massa seperti ini telah membuat banyak kalangan masyarakat merasa jenuh dengan hal-hal yang berbau politik. Alasannya sudah bisa ditebak, banyak sekali janji-janji yang tidak pernah terpenuhi ketika mereka masih kampanye. Sebagai sebuah media yang mampu membentuk opini public dan mengkonstruksi realita sosial, televise merupakan media massa yang memiliki pengaruh yang massif di masyarakat, sehingga sangat tepat untuk digunakan sebagai kendaraan politik untuk kampanye melalui siaran-siarannya. Konsep acara yang ditayangkan, apabila ditinjau dengan teori Agenda Setting, bisa diketahui bagaimana opini public akan terbentuk di masyarakat.

Dengan adanya fenomena semacam ini, maka media massa cenderung mengalami perubahan fungsi. Tidak hanya sebagai penyampai informasi pada masyarakat, melainkan berfungsi pula sebagai media untuk meraup keuntungan berupa kekuasaan di masyarakat. Maka saran yang bisa penulis sampaikan adalah masyarakat harus memiliki kemampuan berupa kecerdasan dalam mengkonsumsi media agar terhindar dari bentuk-bentuk konstruksi sosial media massa berupa kampanye terselubung. Tujuannya agar masyarakat memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan ketika pemilu nanti di tahun 2014.

 

REFERENSI

Ardiyanto, Elvinaro. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.

————————–. 2010. Metodologi Penelitian untuk Public Relations Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung. Simbiosa Rekatama Media

Barker, Chris. 2008. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Kreasi Wacana. Yogyakarta.

Biagi. Shirley. 2010. Media/ Impact. Pengantar Media Massa. Penerjemah : Muhammad Irfan. Jakarta. Salemba Humanika.

Burhan Bungin. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Kencana. Jakarta.

Danial, Akhmad. 2009. Iklan Politik TV Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru. Yogyakarta : LKiS

Nimmo, Dan.2000. Komunikasi Politik. Jakarta. Rosda.

 
Comments Off on KEPEMILIKAN MEDIA MASSA SEBAGAI KENDARAAN POLITIK MENUJU PEMILU 2014

Posted in Uncategorized

 

Kiprah New Media dalam Percaturan Politik di Indonesia

13 Mar

Media massa sebagai salah satu bagian yang tidak terpisahkan di masyarakat telah memberikan pengaruh yang begitu signifikan di masyarakat. Berbagai bentuk tayangan di media massa mampu menampilkan realita sosial di masyarakat. Media massa yang telah mengalami perkembangan begitu pesat juga mampu membentuk opini public melalui tayangan yang disajikannya, seperti berita misalnya. Televisi sebagai salah satu media massa yang paling besar memberikan pengaruh merupakan media yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat berupa kasus-kasus pelanggaran hukum, banyak disebabakan oleh tayangan dari televisi. Kasus tewasnya seorang anak kecil setelah menirukan gerakan-gerakan dalam tayangan Smackdown misalnya, menjadi sebuah bukti bagaimana pengaruh yang ditimbulkan oleh televisi sangat kuat di masyarakat

Letak kekuatan media massa, televisi khususnya, yaitu memiliki konsep audio visual yang mampu menampilkan realita sosial di masyarakat. Kedekatan fenomena yang ditampilkan oleh masyarakat inilah yang menjadikan televisi sebagai penyebar informasi dengan fungsi persuasi yang paling besar. Beberapa kalangan yang memiliki kekuasaan akan menjadikan media massa sebagai alat untuk mendapatkan dukungan di ranah perpolitikan. Sebagaimana telah diketahui bahwa di era reformasi saat ini, kepemilikan media merupakan salah satu cara untuk mendapatkan kekuasaan, karena media massa merupakan alat yang utama dalam membentuk opini public.

Pemilik media massa sebenarnya memiliki kemampuan untuk bisa bersaing di kancah perpolitikan di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa di Indonesia ada beberapa stasiun televisi yang pemiliknya berkecimpung di dunia politik. Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh, di mana Surya Paloh saat ini berposisi sebagai ketua umum Partai Nasional Demokrat (NasDem), dan TVOne yang dimiliki oleh keluarga Bakrie, di mana Aburizal Bakrie juga sebagai ketua umum Partai Golongan Karya, merupakan dua stasiun televise berita terbesar di Indonesia. Tayangan berita yang disajikan oleh dua stasiun televise tersebut mampu mempengaruhi pola pikir masyarakat.

Fenomena tersebut tidak terlepas dari hegemoni yang dilakukan oleh media massa. Tayangan media yang disajikan secara terus menerus berpotensi mengkonstruksi pola pikir masyarakat terhadap setiap fenomena yang terjadi. Stigma yang terbentuk di masyarakat terhadap pemberitaan yang dilakukan oleh media massa adalah stigma positif. Sehingga, masyarakat percaya begitu saja apa yang dikatakan oleh media massa. Walaupun saat ini masyarakat sudah mulai memiliki pemikiran yang cerdas dan pengaruh yang diberikan oleh media mulai menurun, tetapi hegemoni tersebut tidak serta merta hilang begitu saja. Aspek inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan bagi pemilik media untuk melakukan kampanye menuju Pemilu 2014. Kita bisa mengetahui bagaimana saat ini Partai Nasional Demokrat sedang gencar membangun citra melalui tayangan iklan di televisi.  MNCTV Group (RCTI, Global TV, dan MNCTV) yang dimiliki oleh Hari Tanoesudibyo, sudah ikut pula bergabung dengan partai NasDem.

Media massa memang memiliki kekuatan untuk membentuk opini public. Teori Agenda Setting merupakan sebuah teori yang masuk kategori Applied Theory, sehingga bisa kita lihat dari apa yang terjadi di media massa saat ini. Kekuasaan media dalam menentukan agenda masyarakat bergantung pada hubungan mereka dengan pusat kekuasaan. (Littlejohn, 2009 : 418). Kekuasaan inilah yang menjadi tujuan dari para pemilik media. Televisi seperti TVOne misalnya, begitu sering menyajikan berita-berita yang notebene lebih menunjukkan citra sang pemilik. Aburizal Bakrie yang tengah bersiap maju untuk RI-1 membangun citranya melalui tayangan-tayangan berita di TVOne dan ANTV (dua-duanya milik keluarga Bakrie). Masyarakat sebagai target menjadi tujuan utama dari pembangunan citra tersebut dengan harapan akan memilih Bakrie pada pemilu 2014 nanti. Media dengan semua sumber daya dan kekuatan yang ada, tidak terkecuali, lebih sering mengukuhkan atau membuat kepercayaan, sikap, nilai dan opini khalayak menjadi kuat. (Ardiyanto, 2007 : 20). Dengan adanya hegemoni dari media, pengukuhan terhadap seorang individu yang berimplikasi pada opini khalayak, maka media massa mampu merubah pola pikir seseorang terhadap seorang individu.

Pembentukan citra inilah yang menjadi tujuan utama menuju 2014. Dengan citra yang sudah terbentuk sedemikian rupa, maka bukan hal yang mustahil seorang pemilik media bisa sukses di ranah politik, dibandingkan dengan politikus murni yang sudah lama berkecimpung di dunia politik. Konsep pemahaman masyarakat terhadap pemberitaan media yang ‘naif’ merupakan peluang besar untuk melakukan orasi dan pembentukan citra terhadap publik. Korelasi antara media massa dengan dunia politik sebenarnya telah berlangsung lama, dan tidak hanya di Indonesia. Amerika Serikat pernah mengalami hal yang serupa di mana tokoh-tokoh politik pernah menggunakan media massa untuk mendapatkan kursi kekuasaan, di mana pelopornya adalah John F. Kennedy. John F. Kennedy menjadi presiden televisi pertama di Amerika. Kemunculan Kennedy di televisi memang untuk pertama kali, tetapi ia telah mengetahui bagaimana menggunakan televisi. (Biagi, 2010 : 215).

Dengan memandang fenomena seperti itu, tidak salah apabila kemudian kita bisa membuat sebuah pandangan bahwa pemilik media merupakan pihak yang memiliki peluang paling besar untuk meraup keuntungan di dunia politik. Kemunculan Partai Nasional Demokrat yang dipimpin oleh Surya Paloh merupakan sebuah ‘ancaman’ tersendiri bagi Partai Demokrat yang notabene tidak memiliki media massa. Sebagaimana diketahui saat ini Surya Paloh, sang pemilik MetroTV telah merangkul pemilik media massa lain seperti Trans Corp (dipimpin Chaerul Tanjung) serta MNCTV Group (dipimpin oleh Hari Tanoesudibjo). Belum lagi Aburizal Bakrie yang akan maju dalam Pilpres pada 2014 mendatang dengan Partai Golongan Karya. Bakrie memiliki TVOne dan ANTV. Jadi, bukan perkara sulit bagi mereka untuk membentuk citra di hadapan publik. Pembentukan opini public melalui orasi-orasi yang dilancarkan oleh mereka menjadi semacam teknik jitu dalam mempersiapkan diri untuk bertarung di 2014.

Sebagai media pembentuk opini yang paling besar, televisi sebenarnya selalu menghadirkan bentuk-bentuk konstruksi realitas yang terkadang jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Hal ini tidak jarang digunakan oleh kalangan-kalangan tertentu untuk kepentingan politis. Konstruksi realitas kadang mampu menghadirkan dunia kesadaran jauh sebelum manusia memahamai eksistensi materi dari apa yang disadari itu sendiri. (Bungin, 2008 : 69). Berangkat dari pemahaman tersebut, maka media massa berusaha untuk melakukan penggambaran-penggambaran yang membentuk sebuah pandangan manusia terhadap dunianya. Pada era reformasi ini, ketika seseorang mampu membentuk partai politik sendiri, dan memiliki media massa sebagai ‘corong’ untuk melakukan propaganda, maka bukanlah sebuah hal yang aneh ketika sebentuk kekuasaan itu menjadi tujuan akhir dari apa yang direncanakan selama ini.

Berdasarkan penjabaran di atas maka peneliti mengambil sebuah tema penelitian tentang kepemilikan media massa dengan judul “Penerapan Kekuasaan Pemilik Media Massa terhadap Tayangan Media Massa sebagai Kendaraan Politik menuju Pemilu 2014” (Analisis Wacana Kritis Kepemilikan Media Massa Metro TV (Surya Paloh) dan TVOne (Aburizal Bakrie) sebagai kendaraan Politik untuk Mendapatkan dukungan pada Pemilu 2014).

Merujuk pada pengambilan judul dan penjabaran di atas maka penelitian ini mengambil rumusan masalah yaitu bagaimana Penerapan Kekuasaan Pemilik Media Massa  terhadap tayangan berita dan iklan sebagai Alat Politik menuju Pemilu 2014” (Analisis Wacana Penerapan Kekuasaan Pemilik Media Massa terhadap tayangan berita dan iklan di Metro TV (Surya Paloh) dan TVOne (Aburizal Bakrie) sebagai Alat Politik untuk Mendapatkan dukungan pada Pemilu 2014).

Penelitian ini memiliki tujuan yaitu untuk mengetahui Penerapan Kekuasaan Pemilik Media Massa terhadap berita dan iklan  sebagai Alat Politik menuju Pemilu 2014” (Analisis Wacana Penerapan Kekuasaan pemilik terhadap tayangan berita dan iklan politik Metro TV (Surya Paloh) dan TVOne (Aburizal Bakrie) sebagai alat untuk Mendapatkan dukungan pada Pemilu 2014).

Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode analisis wacana, pendekatan yang digunakan yaitu kualitatif. Sebagaimana diketahui dalam setiap kegiatan bahwa penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif memiliki sifat yang subjektif, dan tentunya sebagaimana penelitian-penelitian kualitatif lainnya, besarnya populasi atau sampel bukanlah suatu hal yang utama atau bersifat esensial, sebab populasi dan sampling yang digunakan jumlahnya relatif sedikit. Sampel dalam penelitian ini bukanlah suatu elemen yang diukur. Jika data yang terkumpul sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya.

Penelitian ini membahas mengenai penerapan kekuasaan pemilik media terhadap tayangan media massa sebagai sebuah kendaraan politik menuju pemilihan umum. Sebagaimana diketahui, saat ini banyak pemilik media yang juga berkecimpung di ranah politik, sehingga mereka menggunakan media yang mereka miliki untuk membentuk opini publik sekaligus pencitraan terhadap diri mereka sendiri.

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis wacana Teun Van Dijk, dimana terdapat tiga dimensi analisis yang digunakan yaitu :

  1. Teks

Merupakan konsep teks yang dianalisis secara lingusitik meliputi bahasa, teks, tanda dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini merupakan bentuk bahasa dalam tayangan berita atau iklan yang diteliti, yaitu dari MetroTV dan TVOne.

  1. Kognisi Sosial

Merupakan proses produksi berita atau teks berita yang melibatkan kognisi sosial seperti konstruksi wartawan serta perspektif pengamat berdasarkan berita yang dibuat oleh wartawan atau redaksi institusi media.

  1. Konteks

Mempelajari bangunan atau konstruksi wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Implementasinya bisa melalui pengamatan terhadap media lain (selain Metro dan TVOne) yang mengangkat tema serupa.

Pemilik media massa Metro TV yaitu Surya Paloh dan TVOne yaitu Aburizal Bakrie memiliki pengaruh terhadap tayangan berita maupun iklan di stasiun televisi yang mereka miliki. Ketika mereka berkecimpung di bidang politik, maka dipastikan beberapa tayangan berita dan iklan menjadi sebuah bentuk pencitraan dan konstruksi personal terhadap pemilik media massa. Aspek tersebut, melalui analisis wacana Teun Van Dijk, dapat dibuktikan sebagai berikut :

  1. Teks

Melalui aspek teks, baik Surya Paloh maupun Aburizal Bakrie dikonstruksi sedemikian rupa sebagai seseorang yang berwibawa, sekaligus ketua umum partai yang visioner, dengan sebutan “Tokoh Restorasi Indonesia” bagi Surya Paloh, maupun “ARB” sebagai presiden 2014 bagi Aburizal Bakrie. Beberapa awak Metro TV juga mengungkapkan, bahwa Partai Nasdem yang saat ini telah menetapkan Surya Paloh sebagai Ketua Umum, memiliki visi dan misi untuk mensejahterakan rakyat Indonesia dan melakukan restorasi dalam berbagai bidang. Kemudian untuk partai Golkar, sebutan ARB (Aburizal Bakrie), penulisan Ketua Umum Partai Golkar, serta penayangan iklan ARB, menjadi sebuah bentuk pencitraan dan konstruksi yang dilakukan oleh pemilik media massa.

 

  1. Kognisi Sosial

Pada aspek kognisi sosial, masyarakat, kaum akademisi dan praktisi juga memiliki pandangan yang sama terhadap dua orang tersebut. Sebagai pemilik media massa, mereka memiliki cara tersendiri untuk mencitrakan dirinya, terutama ketika ada sebuah kasus. Hal ini merujuk pada bentuk pemberitaan mengenai kasus semburan lumpur di Sidoarjo. TVOne dan Metro TV memiliki cara sendiri untuk menjaga ‘martabat’ pemilik mereka. TVOne tidak pernah memberitakan kasus tersebut sebagai kesalahan Bakrie, sedangkan Metro TV lebih menyoroti kasus tersebut sebagai kesalahan Bakrie. Perang urat saraf antar pemilik ini diindikasikan sebagai langkah untuk memuluskan sekaligus mendapatkan dukungan masyarakat. Narasumber yang diwawancarai oleh peneliti di sini juga mengungkapkan, pengaruh pemilik media juga besar dalam pembentukan setiap tayangan, terutama berita dan iklan, terlebih ketika pemilik terjun di dunia politik.

 

 

 

  1. Konteks

Pada aspek konteks, hasil yang didapat oleh peneliti adalah media lain lebih menyoroti bagaimana kiprah dua ketua umum partai politik ini dalam menuju pemilihan umum 2014. Namun dalam beberapa tayangan, media lain seperti SCTV maupun RCTI secara tidak langsung meningkatkan citra mereka dengan memberikan sebuah teks sebagai “Ketua Umum”. SCTV misalnya, memberitakan Surya Paloh berkaitan dengan keluarnya Hary Tanoe dari Nasdem ketika Surya Paloh menjabat sebagai Ketua Umum. Begitu pula ketika diberitakan bahwa Hary Tanoe akan ‘menyeberang’ ke Golkar, Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Golkar secara tidak langsung terangkat citranya. Secara keseluruhan, aspek konteks menjabarkan bahwa media massa lain, yang tidak dimiliki oleh Surya Paloh maupun Aburizal Bakrie, lebih objektif dalam melakukan pemberitaan, di mana fenomena yang menjadi perhatian utama dari masyarakat merupakan berita yang kemudian diangkat oleh media tersebut.

Berdasarkan penjabaran di atas, maka bisa dilihat bagaimana konsep ekonomi politik media mulai terimplementasikan. Political economy is the study of the social relations, particularly the power relations, that mutually constitute the production, distribution, and consumption of resources, including communication resources. (Mosco, 2009 : 2). Pendapat Mosco tersebut memberikan gambaran bagaimana ekonomi politik media yang terjadi dalam tubuh institusi media di atas. Bakrie dan Paloh menggunakan kekuasaan mereka sebagai pemilik untuk membentuk berita yang mencitrakan diri mereka di mana kemudian hasil citra tersebut digunakan dalam ranah politik praktis menuju 2014. Kekuasaan dan hegemoni media massa menjadi cara mereka untuk terjun di dunia politik praktis, untuk mendapatkan kekuasaan lain di masyarakat, yaitu sebagai pemimpin negara.

Walaupun pada kenyataannya, hasil elektabilitas tidak menempatkan keduanya di urutan teratas, namun apa yang mereka lakukan melalui media yang dimilikinya menjadi sebuah fenomena yang tidak bisa kita pandang sebelah mata. Bagaimanapun juga, media memiliki pengaruh tersendiri di masyarakat, sehingga akan menjadi permasalahan tersendiri ketika digunakan dalam politik praktis.

Dengan menggunakan analisis wacana Teun Van Dijk yaitu Teks, Kognisi Sosial dan Konteks, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pemilik media memiliki pengaruh terhadap isi tayangan terhadap media massa yang mereka miliki. Pengaruh tersebut tampak pada pemberitaan dan juga iklan. Penelitian ini mengkhususkan pada Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh dan TVOne yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie. Sebagaimana diketahui bahwa Surya Paloh saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Nasional Demokrat dan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golongan Karya. Ketika pemilik media massa berkecimpung di bidang politik, maka pengaruh yang diimplementasikan terhadap isi tayangan semakin kuat. Analisis wacana Teun Van Dijk dapat membuktikan bentuk-bentuk pengaruh sebagai berikut :

  1. Teks

Melalui aspek teks, baik Surya Paloh maupun Aburizal Bakrie dikonstruksi sedemikian rupa sebagai seseorang yang berwibawa, sekaligus ketua umum partai yang visioner, dengan sebutan “Tokoh Restorasi Indonesia” bagi Surya Paloh, maupun “ARB” sebagai presiden 2014 bagi Aburizal Bakrie. Beberapa awak Metro TV juga mengungkapkan, bahwa Partai Nasdem yang saat ini telah menetapkan Surya Paloh sebagai Ketua Umum, memiliki visi dan misi untuk mensejahterakan rakyat Indonesia dan melakukan restorasi dalam berbagai bidang. Kemudian untuk partai Golkar, sebutan ARB (Aburizal Bakrie), penulisan Ketua Umum Partai Golkar, serta penayangan iklan ARB, menjadi sebuah bentuk pencitraan dan konstruksi yang dilakukan oleh pemilik media massa.

 

  1. Kognisi Sosial

Pada aspek kognisi sosial, masyarakat, kaum akademisi dan praktisi juga memiliki pandangan yang sama terhadap dua orang tersebut. Sebagai pemilik media massa, mereka memiliki cara tersendiri untuk mencitrakan dirinya, terutama ketika ada sebuah kasus. Hal ini merujuk pada bentuk pemberitaan mengenai kasus semburan lumpur di Sidoarjo. TVOne dan Metro TV memiliki cara sendiri untuk menjaga ‘martabat’ pemilik mereka. TVOne tidak pernah memberitakan kasus tersebut sebagai kesalahan Bakrie, sedangkan Metro TV lebih menyoroti kasus tersebut sebagai kesalahan Bakrie. Perang urat saraf antar pemilik ini diindikasikan sebagai langkah untuk memuluskan sekaligus mendapatkan dukungan masyarakat. Narasumber yang diwawancarai oleh peneliti di sini juga mengungkapkan, pengaruh pemilik media juga besar dalam pembentukan setiap tayangan, terutama berita dan iklan, terlebih ketika pemilik terjun di dunia politik.

 

  1. Konteks

Pada aspek konteks, hasil yang didapat oleh peneliti adalah media lain lebih menyoroti bagaimana kiprah dua ketua umum partai politik ini dalam menuju pemilihan umum 2014. Namun dalam beberapa tayangan, media lain seperti SCTV maupun RCTI secara tidak langsung meningkatkan citra mereka dengan memberikan sebuah teks sebagai “Ketua Umum”. SCTV misalnya, memberitakan Surya Paloh berkaitan dengan keluarnya Hary Tanoe dari Nasdem ketika Surya Paloh menjabat sebagai Ketua Umum. Begitu pula ketika diberitakan bahwa Hary Tanoe akan ‘menyeberang’ ke Golkar, Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Golkar secara tidak langsung terangkat citranya. Secara keseluruhan, aspek konteks menjabarkan bahwa media massa lain, yang tidak dimiliki oleh Surya Paloh maupun Aburizal Bakrie, lebih objektif dalam melakukan pemberitaan, di mana fenomena yang menjadi perhatian utama dari masyarakat merupakan berita yang kemudian diangkat oleh media tersebut.

 

Beberapa penjelasan di atas telah dapat menyimpulkan bentuk-bentuk pengaruh pemilik media massa yang berkecimpung di bidang politik terhadap isi dan tayangan berita maupun iklan di televisi yang mereka miliki. Selain itu, bisa juga disimpulkan pemilik media massa yang berkcimpung di bidang politik dipastikan memiliki pengaruh terhadap isi tayangan media massa.

 

 
Comments Off on Kiprah New Media dalam Percaturan Politik di Indonesia

Posted in Uncategorized

 

24 May

PENONJOLAN TOKOH ANTAGONIS DALAM FILM The dark knight

 
Comments Off on

Posted in Uncategorized

 

Hello world!

24 May

Selamat Datang di Universitas Brawijaya. Ini adalah posting pertamaku

 
Comments Off on Hello world!

Posted in Uncategorized