Bahasa merupakan salah satu “alat” yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi. Dalam sebuah bahasa terkandung makna yang dapat dipahamim oleh pengguna bahasa tersebut. Dengan berlandaskan pada konsep lisan dan tulisan, bahasa berkembang tidak hanya menjadi alat komunikasi saja, namun penggunaan bahasa berada dalam tataran melakukan sebuah konstruksi hingga sampai pada tataran hegemoni masyarakat luas. Pada tataran awal, secara struktur bahasa disusun dari berbagai bentuk tanda dan simbol secara visual Oleh sebab itu, bahasa terkesan menitikberatkan pada bahasa tulisan. “Menurut de Saussure, bahasa tulis merupakan “turunan” dari bahasa lisan. Sehingga bahasa yang utama adalah bahasa lisan.” (Hoed, 2014 : 68).
Dalam perspektif budaya populer, bahasa merupakan bagian dari rutinitas interaksi manusia yang memiliki ciri dan identitas tertentu. Apabila dikaitkan dengan posisi manusia sebagai subjek dan pelaku komunikasi, bahasa menjadi semacam tools untuk menyampaikan segala hal yang ada di dalam pikiran, seperti gagasan, ide, hingga sebuah bentuk konstruksi sosial. Dalam struktur dan kaidah berbahasa, kita perlu melihat ke dalam dua aspek utama yaitu langue yang merupakan tataran konsep atau kaidah, dan parole yang berada dalam tataran praktis (penggunaan bahasa tersebut). Dengan berpegang pada dua hal tersebut, penggunaan bahasa akan lebih efektif dan mudah dimengerti.
“Pemakaian bahasa sendiri juga menjadi salah satu cara untuk menentukan identitas. Secara universal, bahasa selalu dirasakan sebagai memiliki kapasitas yang, lebih dari kapasitas lain, membedakan umat manusia dari semua spesies lain.” (Danesi, 2011 : 108). Berangkat dari penjabaran tersebut dapat kita lihat bahwa bahasa tidak hanya sebagai alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi, namun bahasa telah menjadi sebuah sarana yang memiliki tingkat otorisasi antar spesies. Menilik pendapat dari Danesi di atas, secara harfiah bahasa merupakan bentuk dari eksistensi manusia. Dengan menggunakan bahasa, kita dapat memiliki sebuah bentuk pengakuan bahwa kita manusia merupakan makhluk yang memiliki nilai, norma dan rasa terhadap fenomena yang ada di alam ini.
Dengan kita yang memahami mengenai struktur dan konsep bahasa, serta hidup di negara yang memiliki bahasa yang beragam maka sudah pasti kita akan semakin memahami posisi bahasa yang kita gunakan. Indonesia, negara dengan ratusan jenis bahasa, menjadikan bahasa sebagai alat pemersatu. Namun perlu diketahui juga bahwa bahasa juga memiliki konsep kekuasaan. Terlebih dalam perspektif budaya lokal. Bahasa lokal atau bahasa daerah memiliki konsep kekuasaan yang tentunya berbeda dengan bahasa nasional. Bahasa Jawa misalnya, dengan kultur yang khas dan penerapan nilai dan moral yang tinggi, memiliki struktur yang cukup rumit.
Bahasa Jawa di wilayah kota Malang sebagai contoh dalam tulisan kali ini. Bahasa Jawa di Malang berbentuk sebuah bahasa yang memunculkan identitas budaya Malang. Kenapa kami menyebut “Malang” dalam tulisan ini? Bukan Kota Malang atau Kabupaten Malang? Karena baik Kota maupun Kabupaten Malang secara keseluruhan memiliki kesamaan dalam bahasa dan budaya. Bahasa Malang lebih dikenal dengan bahasa Walikan. Bisa dikatakan bahwa bahasa Walikan di Malang merupakan bentuk bahasa populer yang memiliki struktur bahasa secara baku namun dibalik susunan hurufnya hingga membentuk sebuah kata baru. Kemunculan bahasa Walikan ini tidak terlepas dari segi historis. Salah satu pahlawan nasional yang berasal dari Malang, Hamid Rusdi, menggunakan sandi rahasia untuk berkomunikasi dengan pejuang Indonesia lainnya. Tujuannya adalah agar penjajah tidak mengetahui maksud dan tujuan sandi tersebut. Sandi itu berbentuk bahasa Jawa dan Indonesia yang dibalik susunannya berikut pelafalannya.
Dalam perkembangannya, bahasa Walikan ini kemudian berubah menjadi sebuah identitas komunal bagi masyarakat Malang. Berkaitan dengan hal itu kita mengetahui bahwa secara praktik bahasa memiliki tingkat kekuasaan sendiri. “Bahasa adalah tempat pertarungan kuasa dan dusta, penaklukan dan perlawanan, hegemoni dan kontestasi. Maka, dalam budaya populer, bahasa adalah wahana pementasan gaya hidup dan bahkan gaya hidup itu sendiri.” (Ibrahim, 2011 : 121). Merujuk pada penjelasan tersebut, kita bisa membawa gagasan tersebut dalam kajian bahasa Walikan ini.
KEKUASAAN DALAM BAHASA WALIKAN
Bahasa Walikan dalam bahasa Indonesia berarti bahasa yang dibalik (walik = balik). Sebagai bahasa khas Malang, tentunya bahasa Walikan tidak hanya sekedar alat untuk berkomunikasi saja. Namun, bahasa Walikan memiliki makna yang konkrit sebagai bentuk identitas serta memiliki konsep kekuasaan. Konsep langue yang menyertai kalimat tersebut secara makro sudah benar, walaupun ada beberapa kata yang masih mengedepankan sifat “ke-daerah-an”, yaitu kata arek. Namun, secara parole konsep kekuasaan dalam teks tersebut memegang peranan yang dominan. Penekanan pada kalimat “Bicaralah seperti Arek Malang” menegaskan tentang dominasi identitas warga Malang bagi siapapun yang ada di wilayah Malang. Penambahan kata Walikan “Oyisam” (iyo mas = iya mas) secara eksplisit menggambarkan eksistensi bahasa Walikan tersebut. Dalam perkembangannya, bahasa Walikan juga menjadi salah satu penggambaran dekonstruksi dalam sebuah struktur bahasa atau teks.
Kita bisa mengartikan bahwa teks-teks tersebut memiliki sebuah ideologi dan kekuasaan yang terkandung melalui maknanya. Identitas yang terbentuk dalam teks tersebur mengartikan bagaimana ‘kekuasaan’ budaya Malang memberikan konstruksi terhadap tata cara dalam berbahasa, baik secara lisan maupun tulisan. Selain itu, bentuk dekonstruksi dalam teks tersebut mengambarkan adanya sebuah pola baru dalam berbahasa. “Gagasan dasar dekonstruksi mau menyingkap pusat teks itu dan ingin melihat apa yang akan terjadi terhadap strukturnya itu bila suatu konsep dihilangkan.” (Haryatmoko, 2016 : 136). Pendapat tersebut memiliki korelasi gagasan dengan fenomena Bahasa Walikan ini. Konsep yang dihilangkan dalam teks bahasa Walikan adalah pembalikan struktur penulisan dan bahasa yang konservatif dan konvensional menjadi sebuah struktur bahasa dan pelafalan baru, namun tidak menghilangkan makna asli.
Bahasa Walikan Malang selain menjadi identitas bagi masyarakat Malang, juga menjadi sebuah simbol. Arti dari simbol disini tidak hanya merepresentasikan sebuah konsep visual semata, namun sampai pada tataran pride atau kebanggaan bagi penggunanya. Teks yang menggambarkan tentang konsep simbol dan kekuasaan dalam sebuah budaya, terangkum dalam gambar tersebut. Selain itu, dalam gambar tersebut juga ada kalimat yang merepresentasikan tentang Boso Walikan. Sehingga, interpretasi yang terbentuk adalah simbol kebanggaan Malang yang terkorelasi dengan tutur bahasa khas Malang. Penggunaan bahasa Walikan tidak hanya sekedar penerapan tradisi Retorika, namun juga mengalami pergeseran hingga menjadi sebuah kajian kritis, yaitu perlawanan terhadap sebuah keteraturan membentuk struktur baru atau yang lebih kita kenal dengan sebutan dekonstruksi.
PEMBAHASAN
Penjabaran di atas memberikan gambaran kepada kita mengenai konsep kekuasaan dalam sebuah teks dan simbol melalui struktur sebuah bahasa. Bahasa Walikan Malang memberikan arti tentang adanya kekuasaan yaitu kekuasaan dalam membentuk identitas serta budaya masyarakat Malang. Perlawanan terhadap sebuah kemapanan dan keteraturan berbahasa ternyata juga berasal dari sebuah peristiwa historis. Tanpa kita sadari sebuah strategi dalam sebuah peperangan yang tidak disengaja, telah mengantarkan strategi tersebut dalam sebuah pengetahuan baru dalam berbahasa.
Penentuan konsep berbahasa yang bergeser jauh dari sturktur yang telah diyakini kebenarannya, bukanlah sebuah kesalahan, apalagi dianggap sebagai hal yang tabu. Contohnya terdapat dalam bahasa Walikan ini. Membalik sebuah struktur bahasa ternyata tidak dianggap sebuah kesalahan. Alih-alih ada sebuah sanksi atau bentuk pelanggaran, bahasa Walikan ternyata mampu membentuk sebuah identitas dan kekuasaan yang diakui sebagai budaya masyarakat modern, khususnya di wilayah Malang. Peneguhan terhadap pride yang terbentuk tidak hanya semata pada simbol atau objek visual yang nampak, namun juga pada sebuah pelafalan lisan dan juga tulisan. Oleh sebab itu, keterkaitan antara bahasa dengan simbol budaya di wilayah Malang menjadi sebuah korelasi antar teks yang membentuk sebuah wacana dan konsep kekuasaan.
Apabila ditarik kembali ke awal, konsep bahasa dengan teori-teori yang menyertainya, teori komunikasi misalnya, merupakan suatu fenomena yang memiliki irisan yang sangat konkrit dan mendalam. Bahasa dengan manusia, merupakan bentuk ‘alat’ dan ‘subyek’ pelaku komunikasi. Noam Chomsky mengatakan bahwa tata bahasa transformasional mendorong psikolinguistik ke sebuah bidang penuh dengan pencarian.[1] Implementasi dari pemikiran diatas dapat kita lihat dari Bahasa Walikan tersebut. Penekanan terhadap kode budaya dan komunikasi mengantarkan kita pada sebuah pandangan adanya korelasi antara budaya populer dengan konsep kekuasaan.
Sebagai sebuah identitas suatu wilayah, Bahasa Walikan tidak hanya berfungsi sebagai lambang atau pengenal saja. Namun, bahasa Walikan memberikan sebuah konsep pandangan baru dalam berinteraksi. Perspektif dalam studi bahasa memberikan pemahaman pada kita tentang pentingnya sebuah struktur dan kajian yang lebih holistik. “Studi bahasa dan komunikasi merupakan sebuah studi lintasdisiplin. Dalam hal ini, terdapat banyak pertanyaan, metode dan orientasi yang mempengaruhi riset, begitu pula banyak sekali bahasa dan dialek yang juga mempengaruhi riset.” (Berger, Rollof, Roskos-Ewoldsen, 2014 : 106). Pandangan tersebut memberikan penggambaran pada kita bahwa kajian mengenai bahasa merupakan kajian yang luas, memerlukan metode yang empiris dan mendalam. Hal ini diperkuat dengan pendapat Chomsky di atas, yang mengartikan bahwa bahasa dan manusia merupakan satu kesatuan. Dalam menggunakan bahasa, manusia tidak dapat terlepas dari konsep psikologis dan bawaan. Konstruksi budaya dan latar belakang yang membentuk seseorang dalam berbahasa.
Implementasinya dapat kita lihat dalam Bahasa Walikan tersebut. Seseorang yang berasal dari Malang, maka secara alamiah dia akan mengenal Bahasa Jawa dan Bahasa Walikan. Karena struktur tersebut yang membentuk identitas, dan tentunya secara proximity, bahasa Walikan lebih dekat dengan keseharian masyarakat Malang. Sehingga, masyarakat Malang secara tidak langsung akan melakukan sebuah klasifikasi dan stratifikasi terhadap segala bahasa yang dia kenal, dengan Bahasa Walikan berada dalam strata atas tentunya. Konsep inilah yang mendasari adanya kekuasaan yang terdapat dalam Bahasa Walikan.
REFERENSI
Berger, C. R. (2014). Handbook Ilmu Komunikasi. Penerjemah : Derta Sri Widowatie. Bandung. Nusamedia.
Danesi, M. (2011). Pesan, Tanda, dan Makna. Penerjemah : Evi Setiarini dan Lusi Lian Piantari. Yogyakarta. Jalasutra.
Haryatmoko. (2016). Membongkar Rezim Kepastian. Yogyakarta. Kanisius.
Hoed, B.H. (2014). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok. Komunitas Bambu.
Ibrahim, I.S. (2007). Budaya Populer sebagai Komunikasi. Yogyakarta. Jalasutra
[1] Pembahasan ini merupakan hasil telaah Charles Berger mengenai perkembangan bahasa sebagai kode komunikasi yang disarikan dari buku The Handbook of Communication Science (2014).