Media massa sebagai salah satu bagian yang tidak terpisahkan di masyarakat telah memberikan pengaruh yang begitu signifikan di masyarakat. Berbagai bentuk tayangan di media massa mampu menampilkan realita sosial di masyarakat. Masyarakat begitu mudah percaya dengan apa yang ditampilkan di media massa. Media massa yang telah mengalami perkembangan begitu pesat juga mampu membentuk opini public melalui tayangan yang disajikannya, seperti berita misalnya. Televisi sebagai salah satu media massa yang paling besar memberikan pengaruh merupakan media yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat.
Televisi di era reformasi saat ini tidak hanya berfungsi sebagai media penyampai pesan saja, tetapi juga berfungsi sebagai penarik minat massa untuk meraup dukungan dalam segala hal. Sebagai media komunikasi massa yang penuh dengan tayangan-tayangan audio visual, bukan tidak mungkin televise menjadi pusat perhatian. Mengapa orang memperhatikan media massa? Satu kemungkinan jawabannya ialah karena mereka berusaha menambah khazanah pengetahuan (informasi) dan atau memperoleh bimbingan (opini). (Nimmo, 2000 : 172).
Letak kekuatan media massa, televisi khususnya, yaitu memiliki konsep audio visual yang mampu menampilkan realita sosial di masyarakat. Kedekatan fenomena yang ditampilkan oleh masyarakat inilah yang menjadikan televisi sebagai penyebar informasi dengan fungsi persuasi yang paling besar. Beberapa kalangan yang memiliki kekuasaan akan menjadikan media massa sebagai alat untuk mendapatkan dukungan di ranah perpolitikan. Sebagaimana telah diketahui bahwa di era reformasi saat ini, kepemilikan media merupakan salah satu cara untuk mendapatkan kekuasaan, karena media massa merupakan alat yang utama dalam membentuk opini public.
Kekuatan Hegemoni Media : Cara Baru mendapatkan Dukungan Massa
Pemilik media massa sebenarnya memiliki kemampuan untuk bisa bersaing di kancah perpolitikan di Indonesia. Kita tahu bahwa di Indonesia ada beberapa stasiun televisi yang pemiliknya berkecimpung di dunia politik. Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh, di mana Surya Paloh saat ini berposisi sebagai ketua umum Partai Nasional Demokrat (NasDem), dan TVOne yang dimiliki oleh keluarga Bakrie, di mana Aburizal Bakrie juga sebagai ketua umum Partai Golongan Karya, merupakan dua stasiun televise berita terbesar di Indonesia. Tayangan berita yang disajikan oleh dua stasiun televise tersebut mampu mempengaruhi pola pikir masyarakat.
Kebutuhan masyarakat akan informasi yang begitu besar membuat media massa dengan leluasa menyampaikan informasi. Ironisnya, berita yang ditayangkan oleh media massa seringkali diragukan keabsahannya, dan masyarakat menerima begitu saja apa yang disampaikan oleh media massa tanpa adanya filter terlebih dahulu. Peluang inilah yang kemudian dijadikan sarana oleh pemiliki media yang berkecimpung di ranah politik untuk melakukan kampanye terselubung. Masih ingat di benak kita ketika Pemilu tahun 2004, media massa begitu gencar memberitakan siapa saja yang jadi calon Presiden dan Wakil Presiden, serta apa saja yang menjadi visi dan misi mereka.
Politik pencitraan yang dilakukan oleh beberapa calon Presiden dan Wakil Presiden melalui media massa ternyata begitu efektif untuk mendapatkan dukungan suara dari rakyat. Terbukti dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2004-2009. Pada pemilu 2009 pun politik pencitraan terbukti efektif untuk dilakukan lagi, dan SBY terpilih untuk periode kedua yaitu 2009-2014. Ringkasnya, televisi tetap digunakan secara luas sebagai saluran komunikasi kampanye. (Nimmo, 2000 : 199).
Fenomena tersebut tidak terlepas dari hegemoni yang dilakukan oleh media massa. Tayangan media yang disajikan secara terus menerus telah mampu mengkonstruksi pola pikir masyarakat terhadap setiap fenomena yang terjadi. Stigma yang terbentuk di masyarakat terhadap pemberitaan yang dilakukan oleh media massa adalah stigma positif. Sehingga, masyarakat percaya begitu saja apa yang dikatakan oleh media massa. Walaupun saat ini masyarakat sudah mulai memiliki pemikiran yang cerdas dan pengaruh yang diberikan oleh media mulai menurun, tetapi hegemoni tersebut tidak serta merta hilang begitu saja. Aspek inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan bagi pemilik media untuk melakukan kampanye menuju Pemilu 2014. Kita bisa mengetahui bagaimana saat ini Partai Nasional Demokrat sedang gencar membangun citra melalui tayangan iklan di televisi. Trans Corp. yang dipimpin oleh Chaerul Tanjung dan MNCTV Group (RCTI, Global TV, dan MNCTV) yang dimiliki oleh Hari Tanoesudibyo, sudah ikut pula bergabung dengan partai NasDem.
Media massa memang memiliki kekuatan untuk membentuk opini public. Teori Agenda Setting merupakan sebuah teori yang masuk kategori Applied Theory, sehingga bisa kita lihat dari apa yang terjadi di media massa saat ini. Kekuasaan media dalam menentukan agenda masyarakat bergantung pada hubungan mereka dengan pusat kekuasaan. (Littlejohn, 2009 : 418). Kekuasaan inilah yang menjadi tujuan dari para pemilik media. Televisi seperti TVOne misalnya, begitu sering menyajikan berita-berita yang notebene lebih menunjukkan citra sang pemilik.
Aburizal Bakrie yang tengah bersiap maju untuk RI-1 membangun citranya melalui tayangan-tayangan berita di TVOne dan ANTV (dua-duanya milik keluarga Bakrie). Masyarakat sebagai target menjadi tujuan utama dari pembangunan citra tersebut dengan harapan akan memilih Bakrie pada pemilu 2014 nanti. Media dengan semua sumber daya dan kekuatan yang ada, tidak terkecuali, lebih sering mengukuhkan atau membuat kepercayaan, sikap, nilai dan opini khalayak menjadi kuat. (Ardiyanto, 2007 : 20). Dengan adanya hegemoni dari media, pengukuhan terhadap seorang individu yang berimplikasi pada opini khalayak, maka media massa mampu merubah pola pikir seseorang terhadap seorang individu.
Politik Pencitraan melalui Media Massa
Berkaca dari keberhasilan Presiden SBY membangun citranya melalui media massa, beberapa tokoh yang akan maju dalam pemilu 2014 sebagai calon presiden mulai mempersiapkan strategi jitu untuk menarik simpati masyarakat. Tidak hanya dengan menjabarkan program-program dan visi misi mereka, berbagai kegiatan yang ‘digambarkan’ dekat dengan rakyat pun menjadi tayangan utama di media massa milik mereka. Ungkapan “Pemilik Media adalah Penguasa Dunia” memang benar adanya. Sebab, media massa mampu membentuk opini public, media massa merupakan sumber informasi di dunia, sehingga tidak sulit bagi para pemilik media untuk meraup suara yang signifikan pada pemilu nanti.
Politik pencitraan menjadi sebuah konsep yang unik di mana sebenarnya pencitraan telah lama digunakan dalam setiap kampanye. Tetapi, kalimat politik pencitraan baru menjadi sebuah trend ketika Presiden SBY sukses menjadi presiden Indonesia dua periode berturut-turut. Lawan politik SBY mulai mempelajari bagaimana cara untuk menarik simpati rakyat melalui media massa. Hal inilah yang kemudian menjadi ‘formula’ yang digunakan untuk mengalahkan kesuksesan Partai Demokrat (partai yang dipimpin oleh SBY) di pemilu 2014 nanti. Partai Demokrat yang tidak memiliki link dengan media massa menjadi sasaran ‘empuk’ ketika mengalami kasus korupsi wisma atlet yang melibatkan ketua umum mereka yaitu Anas Urbaningrum. Sebagaimana telah diketahui bahwa beberapa pemilik media massa terbesar di Indonesia merupakan lawan politik SBY sekaligus Demokrat.
Ketika kasus tersebut mencuat, media massa berlomba-lomba untuk memberitakannya dengan gencar. Tentunya, dibalik pemberitaan itu ada maksud tersembunyi yaitu selain ‘menggembosi’ kekuatan Demokrat, mereka juga menggunakannya untuk menarik simpati rakyat dengan memunculkan sebuah opini public yaitu partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu 2009 adalah sarang koruptor. Begitu kuatnya pengaruh yang diberikan oleh media massa telah membuat masyarakat terhegemoni dengan pemberitaan-pemberitaan yang ditayangkannya. Berangkat dari terbentuknya opini public mengenai pemberitaan kasus tersebut, lawan politik Demokrat mulai bermunculan di media. Propaganda melalui media dengan mensosialisasikan bentuk-bentuk solusi terhadap permasalahan yang melanda negara Indonesia mulai dilakukan oleh partai-partai pemilik media. Hal tersebut sekaligus juga sebagai kampanye terselubung bagi mereka.
Pembentukan citra inilah yang menjadi tujuan utama menuju 2014. Dengan citra yang sudah terbentuk sedemikian rupa, maka bukan hal yang mustahil seorang pemilik media bisa sukses di ranah politik, dibandingkan dengan politikus murni yang sudah lama berkecimpung di dunia politik. Konsep pemahaman masyarakat terhadap pemberitaan media yang ‘naif’ merupakan peluang besar untuk melakukan orasi dan pembentukan citra terhadap publik. Korelasi antara media massa dengan dunia politik sebenarnya telah berlangsung lama, dan tidak hanya di Indonesia. Amerika Serikat pernah mengalami hal yang serupa di mana tokoh-tokoh politik pernah menggunakan media massa untuk mendapatkan kursi kekuasaan, di mana pelopornya adalah John F. Kennedy. John F. Kennedy menjadi presiden televisi pertama di Amerika. Kemunculan Kennedy di televisi memang untuk pertama kali, tetapi ia telah mengetahui bagaimana menggunakan televisi. (Biagi, 2010 : 215).
Orator-Orator Ulung di Era Media Massa Modern : Media Massa sebagai ‘Kendaraan’ Politik
Orator merupakan seseorang yang melakukan kegiatan orasi dalam rangka mendapatkan dukungan masyarakat. Konsep mengenai orasi dan kemampuan melakukan retorika telah ada sejak zaman Yunani kuno dan telah menjadi semacam ‘keharusan’ ketika berada dalam ranah politik. Aristoteles yang terkenal dengan teori retorika telah memberikan semacam kajian yang menarik mengenai konsep retorika. Awal kemunculan pemikiran mengenai retorika sebenarnya merupakan bentuk pemahaman mengenai seni dalam mengolah kata-kata. Asal retorika di zaman klasik, dari abad ke-5 sampai abad ke-1 sebelum masehi, didominasi oleh usaha-usaha untuk mendefinisikan dan menyusun peraturan dari seni retorika. (Littlejohn, 2009 : 74).
Menurut Aristoteles, konsep retorika merupakan konsep yang harus dipahami oleh sang orator. Konsep ini meliputi ethos, pathos dan logos di mana ethos merujuk pada karakter, intelegensi, yang dipersepsikan dari pembicara. Pathos merujuk pada pendengar atau khalayak yang mendengar orasi tersebut dan logos adalah isi dari apa yang dibicarakan oleh orator tersebut. Jadi, seorang orator harus memiliki kecerdasan dalam mengolah kata-kata dan paham betul tipe khalayak yang dijadikan sasaran dari apa yang dikatakannya tersebut.
Banyak kalangan yang menggunakan konsep tersebut ketika tampil di layar kaca. Orator ulung mulai bermunculan untuk membentuk citra yang mampu membius masyarakat. Tayangan yang paling banyak menyajikan bentuk-bentuk retorika adalah debat calon presiden. Para pengamat menyatakan kemenangan presiden Kennedy pada tahun 1960 sebagian dikarenakan keberhasilannya dalam debat presiden di televisi dengan Richard Nixon. (Biagi, 2010 : 215). Dari peristiwa di Amerika tersebut kita bisa melihat bagaimana kemudian cara tersebut diadaptasi di Indonesia. Orator-orator ulung mulai ‘bekerja’ merangkai kalimat-kalimat yang begitu persuasive, menyajikan visi dan misi, menyatakan sebuah solusi dan membentuk citra di hadapan public.
Dengan memandang fenomena seperti itu, tidak salah apabila kemudian kita bisa membuat sebuah pandangan bahwa pemilik media merupakan pihak yang memiliki peluang paling besar untuk meraup keuntungan di dunia politik. Kemunculan Partai Nasional Demokrat yang dipimpin oleh Surya Paloh merupakan sebuah ‘ancaman’ tersendiri bagi Partai Demokrat yang notabene tidak memiliki media massa. Sebagaimana diketahui saat ini Surya Paloh, sang pemilik MetroTV telah merangkul pemilik media massa lain seperti Trans Corp (dipimpin Chaerul Tanjung) serta MNCTV Group (dipimpin oleh Hari Tanoesudibjo). Belum lagi Aburizal Bakrie yang akan maju dalam Pilpres pada 2014 mendatang dengan Partai Golongan Karya. Bakrie memiliki TVOne dan ANTV. Jadi, bukan perkara sulit bagi mereka untuk membentuk citra di hadapan publik. Pembentukan opini public melalui orasi-orasi yang dilancarkan oleh mereka menjadi semacam teknik jitu dalam mempersiapkan diri untuk bertarung di 2014.
Melalui berita yang ditayangkan di televisi inilah, pemilik media menyajikan sebuah realitas mengenai kondisi negara yang kacau, bencana dan berbagai permasalahan lainnya yang ‘digambarkan’ tidak bisa diatasi oleh ‘partai pemerintah.’. Berita bukan merupakan ‘jendela dunia’ yang tanpa perantara, melainkan suatu representasi hasil seleksi dan konstruksian yang membentuk ‘realitas’. (Barker, 2008 : 276). Pendapat Chris Barker di atas bisa kita anggap sebagai sebuah konstruksi realitas sosial yang kemudian dipolitisasi oleh media massa partai tertentu. Televisi adalah sebuah media yang setiap menitnya menyajikan berbagai fenomena di hadapan manusia, baik fenomena itu berbentuk kenyataan, informative, maupun kebohongan massal, masyarakat tetap mengkonsumsi televisi untuk mendapatkan informasi. Televisi terkadang ‘menjauhkan’ manusia dalam interaksinya sebagai makhluk sosial. Di saat manusia tak mampu lagi bersahabat dengan masyarakatnya, televisi justru mampu menjadi medium yang paling tepat untuk membentuk opini dan membangkitkan sentiment masyarakat. (Bungin, 2008 : 61).
Sebagai media pembentuk opini yang paling besar, televisi sebenarnya selalu menghadirkan bentuk-bentuk konstruksi realitas yang terkadang jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Hal ini tidak jarang digunakan oleh kalangan-kalangan tertentu untuk kepentingan politis. Konstruksi realitas kadang mampu menghadirkan dunia kesadaran jauh sebelum manusia memahamai eksistensi materi dari apa yang disadari itu sendiri. (Bungin, 2008 : 69). Berangkat dari pemahaman tersebut, maka media massa berusaha untuk melakukan penggambaran-penggambaran yang membentuk sebuah pandangan manusia terhadap dunianya. Pada era reformasi ini, ketika seseorang mampu membentuk partai politik sendiri, dan memiliki media massa sebagai ‘corong’ untuk melakukan propaganda, maka bukanlah sebuah hal yang aneh ketika sebentuk kekuasaan itu menjadi tujuan akhir dari apa yang direncanakan selama ini.
Media Massa dan Agenda Setting : Strategi Mumpuni dalam Meraup Suara dan Dukungan Rakyat
Pembentukan opini public di masyarakat yang dilakukan oleh media merupakan salah satu efek yang ditimbulkan ketika media massa melakukan sebuah pemberitaan dan konstruksi sosial. Dalam ranah ilmu komunikasi, teori Agenda Setting merupakan teori yang khusus mengkaji bagaimana media massa membentuk opini public dari pemberitaan yang dilakukannya. Melalui opini public yang sudah terbentuk itulah beberapa pihak yang memiliki kepentingan politik menggunakannya untuk mendapat dukungan, dengan tujuan meraup suara sebanyak-banyaknya di pemilu 2014 nanti.
Konsep ‘tebar pesona’ melalui media massa seperti televisi saat ini menjadi sebuah konsep alternative yang cukup jitu untuk meraup suara. Strategi ini juga merupakan kelanjutan dari strategi pembentukan opini public yang dilakukan oleh media massa. McComb dan Shaw, peneliti yang mengkaji mengenai teori Agenda Setting yang dicetuskan oleh Walter Lippman, menganggap bahwa pada dasarnya masyarakat bukanlah ‘mesin otomatis’ yang menunggu di program oleh media massa. Masyarakat memiliki kemampuan untuk memilih tayangan mana yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dalam ranah politik, ketika seorang kandidat mulai melakukan kampanye melalui media massa, masyarakat tidak serta merta terpengaruh kemudia memberika suara kepadanya.
Pemikiran McComb dan Shaw inilah yang kemudian menghasilkan sebuah teori baru yaitu Uses and Gratification, di mana sebenarnya masyarakat memiliki kekuasaan terhadap media untuk memenuhi kebutuhan informasinya, dan media memiliki ‘kewajiban’ untuk memenuhinya. Terlepas dari dua teori di atas, kondisi masyarakat Indonesia yang masih memiliki ketergantungan begitu besar kepada media menyebabkan masyarakat Indonesia begitu mudah terpengaruh oleh politik media tersebut.
Kemampuan media massa dalam membentuk opini publik inilah yang menjadikan masyarakat seolah mudah terpengaruh. Menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi beberapa pihak yang berkepentingan ketika media massa mampu menghadirkan ‘pencerahan’ di tengah-tengah masyarakat. Orator ulung, solusi terhadap permasalahan yang ada di tengah masyarakat, dan berbagai janji-janji mulai ‘dipersembahkan’ ke rakyat, melalui media massa tentunya. Semua itu dilakukan untuk membentuk citra dan tujuan akhirnya adalah masyarakat mendukungnya untuk menjadi presiden, dan partainya menjadi pemenang di Pemilu 2014 nanti.
Media massa di era reformasi saat ini sudah dapat dikatakan mulai kehilangan tingkat obyektifitasnya. Apalagi ketika media massa sudah mulai menyentuh ranah politik (dalam artian pemilik media tersebut sudah mulai berkecimpung di ranah politik), maka tidak menutup kemungkinan tayangan-tayangan yang disajikannya bertujuan untuk menggiring opini masyarakat ke arah pembentukan citra, dengan tujuan akhirnya adalah mendukung di Pemilu 2014 nanti. Pemilik media yang mulai tampil di layar kaca, melakukan personal branding dan lain sebagainya, pada dasarnya merupakan sebuah strategi politik untuk kemenangan di Pemilihan Umum 2014 nanti.
Ketika media massa dijadikan kendaraan politik maka masyarakat yang akan berada pada pihak subordinat. Masyarakat akan ‘dipaksa’ menyaksikan tayangan-tayangan yang berisikan kampanye terselubung, baik dalam bentuk berita maupun tayangan iklan-iklan yang membentuk citra dari pemiliki media tersebut. Konstruksi media massa seperti ini telah membuat banyak kalangan masyarakat merasa jenuh dengan hal-hal yang berbau politik. Alasannya sudah bisa ditebak, banyak sekali janji-janji yang tidak pernah terpenuhi ketika mereka masih kampanye. Sebagai sebuah media yang mampu membentuk opini public dan mengkonstruksi realita sosial, televise merupakan media massa yang memiliki pengaruh yang massif di masyarakat, sehingga sangat tepat untuk digunakan sebagai kendaraan politik untuk kampanye melalui siaran-siarannya. Konsep acara yang ditayangkan, apabila ditinjau dengan teori Agenda Setting, bisa diketahui bagaimana opini public akan terbentuk di masyarakat.
Dengan adanya fenomena semacam ini, maka media massa cenderung mengalami perubahan fungsi. Tidak hanya sebagai penyampai informasi pada masyarakat, melainkan berfungsi pula sebagai media untuk meraup keuntungan berupa kekuasaan di masyarakat. Maka saran yang bisa penulis sampaikan adalah masyarakat harus memiliki kemampuan berupa kecerdasan dalam mengkonsumsi media agar terhindar dari bentuk-bentuk konstruksi sosial media massa berupa kampanye terselubung. Tujuannya agar masyarakat memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan ketika pemilu nanti di tahun 2014.
REFERENSI
Ardiyanto, Elvinaro. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.
————————–. 2010. Metodologi Penelitian untuk Public Relations Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung. Simbiosa Rekatama Media
Barker, Chris. 2008. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Kreasi Wacana. Yogyakarta.
Biagi. Shirley. 2010. Media/ Impact. Pengantar Media Massa. Penerjemah : Muhammad Irfan. Jakarta. Salemba Humanika.
Burhan Bungin. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Kencana. Jakarta.
Danial, Akhmad. 2009. Iklan Politik TV Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru. Yogyakarta : LKiS
Nimmo, Dan.2000. Komunikasi Politik. Jakarta. Rosda.